Catatan Mas AAS

Jadi Dosen Kok Jaim?

Reporter : -
Jadi Dosen Kok Jaim?
Mas AAS

Ah, besok kan Sabtu. Libur momen weekend. Maka dari itu aku malam ini rada bebas, tidak segera harus pulang. Aku rehat sebentar di Rest Area Waru ini sambil menikmati malam yang tidak ada bulan juga bintangnya. Untuk apa mampir segala? Biasa tak sabar aku ingin menulis sesuatu. Biar nanti sampai rumah langsung bisa bobok!

Soal apa yang akan aku tulis sekarang? Jangan ajak aku untuk menulis kisah Ferdi Sambo, Rizky Bilar, atau siapa yang akan jadi Presiden pada hajatan PILPRES Tahun 2024, si Ganjar atau si Anis, itu semua sudah banyak yang mikirin dan juga menulisnya.

Baca Juga: Ibu Bumi

Aku sekarang sambil nyeruput kopi plus ngudud rokok buatan gudang garam ini. Cukup ingin menulis, soal bolo-boloku ning kelas. Siapa itu? Ya, mahasiswaku lah, gaya! Kapan lagi bisa bergaya, kalau tidak saat menulis.

Menjadi mahasiswa adalah masa paling epik setiap manusia. Ia punya kebebasan, juga punya keterbatasan. Bebas berpikir, bebas berekspresi, dan bebas memihak siapa dan apa saja. Ia pun terbatas, dibatasi oleh siapa? Jelas dibatasi oleh dosen, dan cara mendidiknya.

Kemarin, di suatu tempat, saya sedang berbincang dengan seorang kolega. Tidak banyak dosen di kita yang bisa membebaskan berpikir kepada mahasiswanya. "Kok esoh ngono mas bro?"

"Iyo, mas Agus. Tidak sedikit dosen di era sosmed sekarang juga masih haus pengakuan. Diakui untuk ditakuti oleh anak didiknya!" Perilakunya sangat tampak, saat menghadapi mahasiswanya. Dosen ingin dikesankan kaya manusia serba bisa dan tahu semuanya ilmu saja kepada mahasiswanya. Si mahasiswa diberondong pertanyaan yang membuat si mahasiswanya gelagapan, kalau menjumpai keadaan itu pada mahasiswanya, ia si dosen itu bangga!

Aslinya mahasiswa itu bukan tidak bisa menjawab. Tapi sikap dan tanya dari dosen lah yang secara auto buat si mahasiswa itu langsung ngehank dan ngeblang otaknya alias ingatannya.

Aslinya bukan mahasiswa tak belajar, atau mempersiapkan diri saat kuliah, atau malahan saat ujian. Entah ujian skripsi, tesis, pun juga disertasi!

Baca Juga: Menjadi Seorang kader Itu Pilihan Bung!

Si kawan itu meyakinkanku lagi. Bahwa sistem si pendidik mengajar di dalam kelas, dan perangai serta perilaku sang dosen punya andil besar. Dalam membuat si mahasiswa langsung tampak bodoh kayak tidak pernah mangan bangku sekolah.

Bisa jadi solusinya. Membuat pendidik dan yang dididik tidak berjarak, agar setiap mahasiswa mampu berpikir merdeka layaknya manusia sebenarnya! Bukan sebaliknya. Cari pendidik yang kayak itu sudah susah sekarang, ujar kawan itu berkeluh!

Kenapa mahasiswa ada rasa takut, ada rasa bersalah, bahkan rasa malu. Ketika menjawab salah, atau tidak bisa menjawab saat ujian? Karena pertanyaan yang diajukan oleh dosen sudah kayak seorang hakim menghadapi terdakwa saja! Itu salah satu contoh saja. Contoh lain, bisa jadi masih banyak dosen yang jaga image. Jangankan mahasiswa S1, yang mahasiswa S3 saja ada rasa takut dan perasaan malu saat tidak bisa menjawab pertanyaan dosen. Takut dibully, takut dikatain pertanyaan gitu saja tidak bisa. Apa ada dosen macam gitu? Banyak.

Semua yang saya ceritakan di atas. Boleh jadi itu semua terjadi. Saat kuliah dijalankan di dalam kelas. Dan sikap dosen atau pendidiknya berjarak. Lain situasinya, saat guyon maton parikeno atau berbincang membahas materi kuliah itu terjadi di kantin kuliah seperti yang terjadi tadi! Meski dalam momen bukan sedang kuliah, tapi suasana yang terjadi di kantin kampus ITB Yadika Pasuruan tadi, layak dirawat dan dihidupkan terus! Bisa jadi dari aktivitas di kantin ini, yang akan mampu menciptakan terobosan-terobosan kegiatan yang akan buat nama kampus ini semakin terkenal di kemudian harinya!

Baca Juga: Sastra Melembutkan Jiwa!

Mahasiswa itu secara spontan terlibat mengobrol dengan dosen, mereka berdiskusi, dan juga menyanyi. Status di situ seperti sudah tidak ada lagi mana dosen mana mahasiswa. Karena pas santai di kantin tadi, semua jadi dirinya sendiri, dan berani menghargai dirinya sepenuh hati. Dan status dosen kalaulah ada, itu semua tadi aku tanggalkan di rumah. Kami, mahasiswa dan dosennya, bahkan kalau perlu sama pejabat kampusnya sekalian. Bisa kumpul, guyonan bersama di kantin seperti tadi, jelas bermanfaat dan itu keren!

Iklim pendidikan yang mana dosen melebur menjadi satu dengan mahasiswanya sudah mulai tidak biasa sekarang. Bisa jadi dosennya sudah kadung pusing karena banyaknya tugas dan tanggung jawab. Si mahasiswanya sudah sangat takut kalau nilai kuliahnya jelek, jadi kuliah hanya berburu nilai berupa huruf-huruf ABC itu sebagai bekal cari kerja, saat ia lulus! Dosen dan mahasiswanya sama-sama takut tidak dapat duit buat makan. Termasuk yang menulis ini juga,  Jadi kadang akting berlagak di depan anak didiknya, biar anak didiknya takut! Jangan salahkan, manusia yang dididik dengan rasa takut, luarannya akan jadi manusia penakut juga. Kalaulah berani, bisanya hanya berani menakuti orang saja nantinya!

Terus tulisan ini dibuat untuk sadarkan siapa mas Agus? Ya, setidaknya sadarkan penulis sendiri. Jangan jadi dosen yang JAIM Agar tidak mendidik dengan memunculkan rasa takut kepada anak didiknya, dalihnya agar image nya tetap terjaga. Makan itu image.

Saya malam ini masih percaya, pendidikan itu penting. Lebih penting lagi mengajari dan mendidik mahasiswa agar ia tidak punya rasa takut yang akut kepada dirinya sendiri, atau takut sama dosennya. Ini adalah tugas mulia seorang pendidik. Berjarak dengan mahasiswa, bisa jadi pilihan paling enak buat dosen, dan pastinya pilihan sebaliknya bagi mahasiswa. Dan soal mengajar tidak harus di dalam kelas saja, saya kira juga bisa dicoba, di luar kelas, di kantin kampus misalnya, jadi pilihan yang asyik juga. Belajar, berpikir, berdiskusi, dan bernyanyi, jadi kesatuan kegiatan yang dijalani bersama antara dosen bersama mahasiswanya! Bahagiakan dahulu itu perasaannya mahasiswa, agar mudah memahami sebuah materi kuliah yang diajarkan!

Editor : Redaksi