Oleh : M Ridwan Anshori

Swasembada Gula Perlu Dikalibrasi Ulang

Reporter : -
Swasembada Gula Perlu Dikalibrasi Ulang

Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara agraris. Ini bukan jargon belaka tetapi memang secara geografis Indonesia adalah negara pertanian. Banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari pertanian. Hal ini menimbulkan ekspektasi bahwa Indonesia seharusnya bisa memenuhi sendiri kebutuhan pangannya. Paling tidak untuk kebutuhan pangan yang strategis. Seperti beras, gula, kedelai dan lain lain. Ironismya justru jauh panggang dari api, impor pangan malah meningkat. Target swasembada pelan pelan terasa seperti mimpi di siang bolong. Impor pangan seringkali justru ditarik ke ranah politik bukan didiskusikan dengan jernih.


Seperti swasembada gula berkali kali ditetapkan target waktu pencapaiannya. Dari 2014, tidak tercapai, direvisi lagi sekarang di 2024. Bila melihat situasi yang ada sekarang di tahun 2022 ini sepertinya juga bakal sulit tercapai. Pemahaman Indonesia sebagai negara agraris memang harus dikalibrasi ulang. Realitas domestik dan perspektif pangan dalam ekonomi politik internasional juga berubah.

Baca Juga: Produksi Gula dan Tebu Jatim Sumbang 49,55 % Produksi Nasional


Pabrik pabrik gula yang ada di Indonesia umumnya adalah pabrik peninggalan Belanda. Secara teknologi tentu sudah usang. Berkali kali sudah dilakukan revitalisasi tapi tetap saja tidak membuahkan hasil signifikan. Untuk mendirikan pabrik baru juga bukan sesuatu yang mudah. Selian modal besar, juga harus dipikirkan daerah sekitar apakah mampu untuk menarik minat masyarakat sekitar untuk menanam tebu. Sehingga supply tebu bisa maksimal. Maka tidak heran produksi GKP (Gula Kristal Putih) cenderung turun atau stagnan. Kalaupun meningkat, hal itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan.
Pada 2017 produksi GKP mencapai 2,12 juta ton, pada 2018 turun menjadi hanya 1,17 juta ton. Pada 2019 naik lagi menjadi 2,22 juta ton, di tahun 2020 turun lagi menjadi 2,13 juta ton. Sedangkan konsumsi GKP nasional untuk rumah tangga mencapai 2,66 juta ton.


Sementara di sisi lain indusri makanan dan minuman di Indonesia mengalami perkembangan pesat. Industri ini juga memerlukan bahan baku gula, yaitu dalam bentuk raw sugar. Sementara pabrik pabrik gula hanya mampu memproduksi GKP (Gula Kristal Putih), gula yang dikonsumsi rumah tangga. Maka tak heran pemerintah dari tahun ke tahun selalu mengimpor raw sugar. Dengan jumlah yang telatif meningkat dari tahun ke tahun. Lengkap sudah Indonesia sebagai salah satu pengimpor gula terbesar di dunia. Impor gula nasional baik untuk kebutuhan rumah tangga dan industri makanan minuman mencapai 5,3 juta ton pada tahun 2021.


Dari sisi internasional, ada banyak negara negara yang saat ini mengalami surplus produksi gula. Sebut saja India, Brasil, Thailand, Australia. Tentu saja negara negara ini perlu untuk mengekspor gulanya. Konsukuensinya mereka akan mencari pasar, mencari negara yang defisit gula. Dan tidak bisa dipungkiri Indonesia adalah pasar yang menarik. Jumlah penduduk besar, sementara defisit gula juga besar dan konsumsi gula yang meningkat. Ini adalah kenyataan saat ini yang harus diterima, sebuah realitas internasional yang tetap harus dicarikan solusi. Tercatat Indonesia mengimpor gula dari Thailand sebesar 2,03 juta ton, Brasil 1,55 juta ton, Australia 1,21 juta Ton.


Sebenarnya status Indonesia sebagai negara agraris masih cukup berdasar meski kontribusi pertanian dalam sektor GDP cenderung turun. Namun demikian ekspektasi masyarakat terhadap negara agraris perlu dikalibrasi ulang. Bukan berarti swasembada gula tidak bisa tercapai tetapi pemahamannya perlu direkonstruksi ulang. Sebuah negara agraris tidak perlu harus memproduksi semua kebutuhan pangannya. Baik karena beberapa produk pertanian yang kita butuhkan mungkin secara agroklimat tidak sesuai dikembangkan di Indonesia. Juga karena kompleksitas persoalannya baik on farm maupun off farm, seperti gula adalah salah satunya.

Baca Juga: Siapkan 700 Hektar Untuk Tanam tebu, Presiden Jokowi Targetkan Indonesia Swasembada Gula


Maka dari itu pemerintah perlu untuk melindungi petani dari perkembangan perkembangan realitas pertanian yang terjadi. Tidak salah menetapkan swasembada karena itu adalah kerja kerja teknis yang juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Tetapi pemerintah juga perlu untuk mempertahankan daya tahan petani untuk tetap bertahan di dunia pertanian. Banyak anak muda yang tidak mau terjun ke dunia pertanian khususnya pertanian tebu karena tidak kompetitifnya hasil yang didapat. Bahkan jumlah petani tebu cenderung turun hal ini bisa dilihat dari area lahan pertanian rakyat yang cenderung turun dari tahun ke tahun. Petani juga sulit mendapatkan pupuk bahkan yang non subsidi sekalipun. Sudah sulit didapat harga juga mahal.


Oleh karena itu pemerintah perlu mengkaji ulang aturan bagi hasil, 66 persen petani 34 persen pabrik, yang diterapkan pabrik pabrik gula BUMN. Aturan ini sudah sejak jaman orde baru diterapkan sementara revitalisasi pabrik gula BUMN sudah dilakukan. Harusnya persentase bagi hasil untuk petani ditingkatkan. Nilai hasil panen petani berdasarkan rendemen juga perlu dicermati ulang. Mekanisme pembelian tebu petani melalui Sistem Beli Putus perlu dipertimbangkan. Tentu dengan tetap memperhatikan kualitas tebu yang dikirim. Beberapa produk turunan tebu lain seperti ampas serat tebu yang bernilai secara ekonomi semestinya juga bisa diberikan kepada petani. Beberapa studi menyatakan serat tebu adalah bahan yang berkualitas baik untuk jok kulit mobil. Di brasil hal ini sudah diterapkan. Di sinilah peran pemerintah untuk mengelaborasi pabrik gula dengan industri industri lainnya.


Kampanye untuk menurunkan konsumsi gula juga pilihan out of the box yang bisa dilakukan. Misalkan mengkampanyekan lebih sehat minum kopi pahit daripada kopi manis. Lebih sehat minum air putih daripada minum produk minuman kemasan yang manis. Tentu dengan menyertakan bukti penelitian ilmiah. Pemerintah bisa secara massive melakukan ini dengan menugaskan departemen departemen terkait. Sambil tetap berusaha meningkatkan produksi gula dalam negeri. Seperti ikhtiar pemerintah membentuk holding perniagaan gula yaitu PT Sinergi Gula Nusantara tetap perlu diapresiasi. Dan patut ditunggu hasilnya.

 

Penulis:
M Ridwan Anshori, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) N XI periode 2016-2021.

Editor : Redaksi