Oleh: Dr. Hariyono

Hari Kebangkitan Nasional dan Misi Kesetaraan: Refleksi 2023

Reporter : -
Hari Kebangkitan Nasional dan Misi Kesetaraan: Refleksi 2023
Dr. Hariyono

Jatimupdate.id - Salah satu pesan penting dalam kesadaran rasa kebangsaan Indonesia di wilayah Hindia Belanda adalah masalah kesetaraan (isu lainnya tentu saja bisa berkaitan dengan eskploitasi ekonomi, proyek divide et impera, kaum colonial dan sebagainya). Di dalam kaitan keseteraan inilah maka diskusi kali ini diarahkan.

20 tahun akhir abad 19 sampai awal abad 20 merupakan masa menarik, yaitu saat-saat kesadaran nasional makin mengkristal. Di Eropa, Prusia (yang Protestan) dan Bavaria (yang Katholik) bisa bergandeng tangan membentuk satu Jerman yang solid, sementara di Balkan gerakan emanispasi kebangsaan membentuk negeri-negeri yang lepas dari Turki Usmani, yaitu Bulgaria dan sebagainya, juga kebangkitan Arab untuk lepas dari Turki Utsmani. Nasionalis Arab menjunjung asa kebangsaan di atas pandangan sentiment keagamaan Turki. Orang muslim dan Kristen bersatu memimpikan kemerdekaan bangsa Arab. Pun demikian halnya dengan di Hindia Belanda. Kemunculan kaum cerdik pandai, intelektual yang meski bersekolah di Jawa, tetapi memiliki pendidikan Eropa yang progresif dan membantu membuka cakrawala.

Baca Juga: Kelas Kemitraan, Fikom Unitomo Gelar Seminar Proposal dan Kuliah Offline di Kalsel

Isu-isu kekinian dibaca kalangan anak bangsa local di Hindia Belanda. Anak muda pribumi jadi tahu tentang Revolusi Prancis, Konfederasi Jerman, pembangunan Kanal Suez , penemuan-penemuan hebat dan sebagainya merangsang anak-anak muda keluarga aristokrat pribumi untuk menacapi cita-cita kesetaraan dengan kaum kolonial Belanda. Anak-anak priyayi elit inilah yang kemudian tahu makna kebangsaan dan tujuan dari paham kebangsaan ini. Savitri Prastiti Scherer menulis bahwa kemunculan kaum elit pribumi membentuk kesadaran bahwa kedudukan mereka yang lain dari kebanyakan warga pribumi lainnya untuk membawa kemajuan bangsa. Dan disebutkan pula olehnya peran mahasiswa kedokteran sebagai ujung tombak kesadaran itu karena menjadi menjadi kaum yang memiliki keuangan secara mandiri (lain dengan mereka yang sekolah pamong praja).

Di dalam ruang kuliah mereka, mereka (Sutomo, Wahidin, Cipto, dan sebagainya) mendapatkan pengajaran tentang hebatnya revolusi Prancis yang menghancurkan tiran kerajaan, dan mengusung bendera kesetaraan dengan ucapan persaudaraan, kesetaraan, dan keadilan, dan hebatnya konfederasi Jerman yang menyatukan orang Protestan dan katholik yang sebelumnya susah bersatu. Dengan gagasan-gasasan progresif itu mereka paham bahwa masa depan tanah Hindia Belanda tentu melalu mantra-mantra itu. Manusia harus setara , berkeadilan, dan persaudaraan antar ras manusia.

Mantra revolusi Prancis sayangnya hanya teori di negeri jajahan Belanda. Kemunculan Budi Utomo yang digagas anak-anak muda itu tidak lepas dari kebutuhan abhwa adanya kesenjangan untuk menuju praksis penerapan ide-ide itu di kelas dengan kenyataan yang ada di negeri Hindia Belanda. Perlakuan diskriminatif yang diterima dokter-dokter pribumi dari pemerintah dan institusi yang ada membuktikan setinggi apapun usaha mereka untuk setara, maka tetap saja itu impian kosong.

Baca Juga: Tingkatkan Kualitas Dosen, KPTCN Gelar International Conference di Universitas Negeri Malang

Para dokter pribumi itu mengalami bagaimana mereka tidak bisa masuk gedung tertentu sebagai penikmat acara dan pengunjung hanya karena warna kulit, sementara orang Belanda pemabuk buta huruf bisa masuk gedung itu. Sementara orang-orang Belanda di kelas mengajarkan bahwa manusia setara dan susahnya Belanda ketika diduduki Spanyol. Beberapa tahun kemudian mereka melihat langsung bagaimana kemunafikan doketr-dokter Belanda yang disumpah melayani orang-orang tanpa pandang bulu, ternyata tidak membantu dan malah bersikap rasis terhadap warga Hindia Belanda ketika wabah pes melanda Surabaya sampai Malang pada tahun 1910an. Para dokter Belanda tidak mau terjun ke warga, sehingga dokter-dokter pribumi itu sendiri yang turun ke desa-desa itu, yang tentu saja dengan fasilitas berbeda dengan wilayah yang didiami warga putih.

Jadi dengan melihat latar belakang munculnya kesdaran nasional itu kita bisa melihat bahwa kebangkitan nasional itu berangkat dari ide untuk melawan pandangan superior tertentu terhadap warga yang lain. Kebangkitan nasional jika dibaca dengan kacamata tahun 2023, maka seyogyanya dipahami sebagai Pr besar semua anak bangsa bahwa kita melawan Belanda dulu adalah sebuah perjuangan untuk menuju kesetaraan d isamping hal-hal yang lain (misalnya ekspolitasi ekonomi)bukan karena beda warna kulit, kita coklat , Belanda putih. Kebangkitan nasional dibaca dengan pahaman bahwa Indonesia sekarang masih harus terus berjuang untuk mewujudkan kesetaraan. Masih sering kita mendengar susahnya membangun rumah ibadah bagi kalangan minoritas, masih hoaks berseliweran tentang isu keturunan asing, masih munculnya stigma sesat terhadap aliran agama seperti Ahmadiyah dan Syiah, masih seksisnya pola pandang relasi manusia di negeri ini, sehingga bias-bias gender masih sangat terlihat, kaum liyan secara seksual yang maish dianggap sesat dan sebagainya.

Baca Juga: FH Unitomo dan SMK Ketintang Jalin Kerjasama di Bidang Edukasi Hukum

Mereka semua adalah anak bansga Indonesia yang tentu dulu merupakan bagian angan-angan dari pengggagas rasa kebangssan 1908 itu bahwa yang emreka lawan adalah diskiriminasi ketidaksetaraan yang dianut oleh sistem colonial dan diturunkan lewat sistem colonial dan struktur colonial.

*Dr. Hariyono merupakan Pengamat Kajian Pergerakan Kebangsaan dan Poskolonial dan Dosen Fakultas Sastra Universitas Dr.Soetomo (Unitomo) Surabaya.

Editor : Ibrahim