Ngabuburit Senja

Memberi, Bukan Meminta

Reporter : -
Memberi, Bukan Meminta
Dr M Subhan SD

JAKARTA(JATIMUPDATE.ID)Nabi Ibrahim suka sekali menjamu orang. Tak ada tamu yang disambut tanpa hidangan. Penyambutan memuliakan tamu itu sudah menjadi kebiasaan Ibrahim, terutama sejak hijrah dari Ur-Kasdim (Irak saat ini) ke tanah Palestina, terakhir di Hebron (Al-Khalil). Bahkan terhadap tamu yang belum dikenal sekalipun. Di dalam Al-Quran, tersebutlah “tamu Ibrahim”.

Suatu waktu datanglah beberapa tamu. Setelah menjawab ucapan salam para tamunya, Ibrahim bergegas menyiapkan hidangan untuk mereka. “Maka diam-diam dia (Ibrahim) pergi menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka (tetapi mereka tidak mau makan). Ibrahim berkata, “Mengapa tidak kamu makan” (QS. Az-Zariyat: 26-27).

Daging sapi muda yang lezat itu tak disentuh sedikit pun oleh tetamunya, yang membuat Ibrahim ketakutan. Mereka memang bukan sembarang tamu. Mereka adalah para malaikat yang diutus untuk memberi hukuman pada umat Nabi Lut, keponakan Nabi Ibrahim. Para malaikat itu mampir memberi kabar dan mengucapkan selamat akan lahirnya putra kedua dari rahim Sarah yang kemudian diberi nama Ishaq.

Dalam menghormati tamu atau menyayangi sesama manusia, Ibrahim telah mewariskannya sejak ribuan tahun silam. Ada sebuah riwayat dari Ibnu Abi Hatim, disebutkan Ubaid bin Umair, mantan budak Ibnu Abbas, menceritakan tentang kebiasaan Ibrahim yang selalu menjamu tamu (Katsir, 2019).

Suatu hari, Ibrahim pergi mencari seseorang yang hendak dijamunya. Namun tak seorang pun ditemuinya. Karena, tak ada orang yang dijumpai di jalan untuk dijadikan tamunya, Ibrahim pulanglah ke rumah. Saat tiba di rumah ia melihat ada seseorang sedang berdiri. Terpikir dalam hati, akhirnya ada juga orang untuk dijamu.

Namun, Ibrahim agak kaget karena orang tersebut tahu-tahu sudah berada di dalam rumah.

Ibrahim lalu bertanya, “Hai hamba Allah, kenapa masuk ke rumahku tanpa izin?”

Orang tersebut langsung menjawab, ”Aku masuk atas izin Rabb (Tuhan).”

Ibrahim penasaran, “Lah kamu siapa?”

Sejurus kemudian orang tersebut menjawab lagi, “Aku malaikat. Rabb mengutusku untuk menemui seorang hamba-Nya, untuk menyampaikan berita gembira bahwa Allah telah menjadikannya sebagai kesayangan.”

Mendengar jawaban itu keruan saja Ibrahim bertambah antusias. “Siapa dia?” pertanyaan itu langsung meluncur dari mulut Ibrahim, seraya melanjutkan, “Demi Allah jika engkau memberitahukan siapa dia, dan bila dia berada di ujung negeri, aku pasti menghampirinya.

Aku akan selalu berada di dekatnya hingga kematian memisahkan kami.”

“Hamba itu adalah kamu,” kata malaikat.

“Aku?” tanya Ibrahim tentu dengan rasa heran.

“Iya!” jawab malaikat. Ibrahim penasaran, “Atas dasar apa Rabb menjadikanku sebagai kesayangan-Nya?” Malaikat pun memberi jawaban, “Karena engkau selalu memberi sesamamu dan engkau tidak pernah meminta pada mereka”.

Dari situ kita dapat memahami Nabi Ibrahim berjuluk “bapak penyayang” (sebuah pendapat menyebutkan, secara etimologi: ib/ab bermakna bapak dan rahim bermakna penyayang).

Bahkan Allah menyematkan langsung sebagai kekasih/kesayangan-Nya (Khalilullah) atau kekasih Yang Maha Pengasih (Khalilur-Rahman). “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus! Dan Allah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-Nya” (QS. An-Nisa: 125).

Sudahkah kita umatnya dan keturunannya meneladani perilaku Nabi Ibrahim, bila nyatanya kita masih suka bertengkar dan lebih banyak menuntut ketimbang memberi? Dr M Subhan SD,Director PolEtik Strategic

Editor : Redaksi