Oleh : Moksen Sirfefa

Surat B1-KWK dan Kenikmatan Syahwati

Reporter : -
Surat B1-KWK dan Kenikmatan Syahwati
Penulis Moksen Sirfefa

Sejak kemarin saya berpikir tentang pragmatisme dan hedonisme kuasa yang melanda perilaku kepartaian di Indonesia. Fungsi partai politik secara teori (meminjam Almond), adalah komunikasi, artikulasi dan agregasi tetapi yang terlihat adalah pasar gelap bagi para rentenir politik.

Irasionalitas di dalam politik di Indonesia itu menyebabkan eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak lagi bergerak sesuai rotasinya melainkan mereka berada dalam pusaran arus yang sama, uang dan kekuasaan.

Baca Juga: PDI Perjuangan Belum Serahkan SK, AKD DPRD Surabaya Belum Dibentuk 

Demokrasi Pancasila selalu diagung-agungkan di forum-forum resmi tetapi prakteknya penuh dengan muslihat, ketidakjujuran dan kebodohan. Partai politik sudah tidak ubahnya pasar gelap dan semua orang berlomba-lomba melobi orang-orang partai untuk menawarkan jajanannya. Yang mengambil keuntungan adalah para rentenir dan orang-orang partai itu sendiri.

Mereka dengan prestasi kerja kepartaian di daerah bukan menjadi jaminan ia dipilih dan diberikan rekomendasi dari partainya. Jika tidak memilik modal yang cukup untuk membayar mahar partainya atau tidak memiliki ikatan emosional yang kuat dengan pimpinan partai, akan sulit memperoleh surat sakti B1-KWK.

Mahar partai pun beragam. Patoknya satuan milyar, belasan milyar hingga puluhan milyar. Tergantung (itu tadi) kedekatan emosional dengan pengurus partai di pusat atau hubungan-hubungan lain yang bersifat khusus. Ini berlaku bagi orang yang berada pada partai yang sama.

Jika seseorang tidak berpartai atau orang-orang yang datang dari luar partai politik yang datang meminta dukungan partai tertentu, patokan maharnya pun semakin gila.

Baca Juga: MPR Cabut TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967

Memburu surat persyaratan dukungan pencalonan (B1-KWK) bagi mereka sudah seperti menjaring angin. Bisa ketangkap bisa tembus dan jatuh ke tempat lain jika lubang anginnya dibiarkan menganga alias tidak dikawal. Dalam hitungan menit "bisa gagal barang itu" dikasih ke orang lain.

Juga fenomena lain, dimana dukungan partai ke figur tertentu tapi kemudian dukungan dicabut karena faktor-faktor tertentu. Fenomena PKS vis a vis Anies Baswedan di Jakarta menjadi contoh nyata dimana partai politik menjadi organisasi bisnis, dimana idealisme bisa dijual kalau tawarannya bukan lagi milyar tapi triliun. Transaksi politik PKS adalah idealisme politik ditukar dengan hedonisme kuasa.

Dan terakhir adalah kebodohan politik. Ini bisa terlihat dari PDIP yang menabrak tembok Jakarta. Sebabnya, gegara Megawati tidak berkenan dengan Anies. Pokokè asal bukan Anies! Maka dengan menutup mata, Megawati "menyuruh" Pramono Anung : "Pram, kamu maju di Jakarta mendampingi Rano" tapi setelah itu ia kembali ke kamarnya sambil membatin, "kali ini aku memang bodoh karena Anies!". Dia sudah tahu pasti kalah tetapi dari pada memilih Anies yang bukan kader PDIP, lebih baik memilh kader sendiri mesti harus menderita kekalahan.

Baca Juga: Pilkada Bondowoso 2024, Rekomendasi PDI Perjuangan Bergeser dari Ra Hamid ke Bambang 

Kembali ke ihwal memburu B1-KWK di waktu-waktu kritis sampai pukul 00.00 WIB nanti malam (29/8/2024) di satu sisi bak menjaring angin tetapi di sisi lain -- bagi orang-orang tertentu -- menjadi semacam menunggu detik-detik datangnya malakul maut. Kematian karir politik. Ia tidak bisa lagi berkuasa, dimana dengan kekuasaan itu ia dapat meraup harta dan menikmati hedonisme profan lainnya.


Jakarta, 29/8/2024.

*Penulis adalah Dewan Pakar Majelis Nasional KAHMI

Editor : Redaksi