Oleh: Anshori*
Pilkada: Politik Pragmatisme vs Politik Ideologis
Surabaya, JatimUPdate.id - Jelang Pemilihan kepala daerah, para kontestan di masing-masing daerah bisa jadi telah menyusun langkah-langkah strategis dalam rangka pemenangan. Tujuan utama Pilkada adalah kepemimpinan lokal, dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada hakekatnya merupakan komponen penting dalam demokrasi Indonesia, memberikan masyarakat kekuasaan untuk memilih pemimpin di tingkat provinsi dan kabupaten.
Seiring perkembangan demokrasi, Pilkada mengalami banyak perubahan, di mana politik pragmatis dan ideologis muncul sebagai dua aspek utama. Politik pragmatis, yang berfokus pada tujuan jangka pendek dan hubungan transaksional, sering kali bertentangan dengan politik ideologis yang didasarkan pada nilai, prinsip, dan visi jangka panjang.
Baca Juga: KPU Kabupaten Sidoarjo Tetapkan 1.479.539 DPT Untuk Pilkada Serentak Tahun 2024
Esai ini mengeksplorasi perdebatan antara politik pragmatis dan ideologis dalam Pilkada dengan menambahkan pandangan dari para ahli politik untuk memahami kompleksitas dinamika ini.
Politik pragmatis merujuk pada fokus terhadap solusi praktis dan hasil segera, sering kali mengesampingkan prinsip atau konsistensi ideologis. Dalam Pilkada, politik pragmatis tampak dalam strategi dan aliansi yang memprioritaskan keuntungan jangka pendek. Para ahli ilmu politik memberikan berbagai perspektif terkait meningkatnya pragmatisme politik dalam pemilu lokal.
Menurut Edward Aspinall, seorang ahli terkemuka dalam politik Indonesia, klientelisme dan politik uang sudah mengakar dalam sistem pemilihan di Indonesia. Dalam penelitiannya, Aspinall mencatat bahwa kemiskinan, kurangnya literasi politik, dan sifat desentralisasi politik Indonesia menciptakan lahan subur untuk praktik politik uang. Aktor politik lokal sering kali melihat pemilu sebagai pasar di mana suara bisa dibeli, yang menyebabkan pergeseran dari kampanye berbasis ideologi ke politik transaksional.
Ahli ilmu politik lain, Marcus Mietzner, berpendapat bahwa politik uang merupakan gejala dari masalah yang lebih besar, yaitu fragmentasi politik di Indonesia. Karena Pilkada mendorong munculnya elit regional, kandidat lebih fokus pada pendekatan pragmatis untuk memenangkan suara, ketimbang pada konsistensi ideologis. Menurut Mietzner, hal ini menyebabkan melemahnya identitas ideologis partai politik, karena kandidat lebih mengutamakan kemenangan daripada nilai-nilai mereka.
Politik Ideologis dalam Pilkada
Sebaliknya, politik ideologis berakar pada komitmen terhadap seperangkat prinsip, nilai, dan tujuan jangka panjang. Kandidat dan partai politik ideologis menyajikan platform yang didasarkan pada visi untuk masyarakat, pemerintahan, dan pembangunan, serta berupaya menerapkan kebijakan yang mencerminkan keyakinan ideologis mereka.
Kampanye Berbasis Kebijakan
Politik ideologis dalam Pilkada sering kali menekankan kampanye berbasis kebijakan. Kandidat yang berpegang pada prinsip ideologis fokus pada isu-isu seperti keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, atau kesetaraan ekonomi. Kandidat-kandidat ini terlibat dalam debat tentang arah masa depan daerah dan berupaya menerapkan perubahan yang selaras dengan kerangka ideologis mereka yang lebih luas.
Sebagai contoh, kandidat dari partai politik Islam mungkin berkampanye dengan platform yang mencerminkan nilai-nilai Islam, seperti mempromosikan reformasi pendidikan atau mendukung program kesejahteraan sosial. Demikian pula, kandidat dari partai progresif atau kiri mungkin fokus pada isu-isu hak-hak buruh, kesetaraan sosial, atau perubahan iklim, dengan kebijakan yang berakar pada keyakinan ideologis mereka.
Baca Juga: Jelang Pelaksanaan Pilkada Serentak 2024, Satlantas Polres Blitar Laksanakan Pengecekan Ranmor Dinas
Visi Jangka Panjang
Berbeda dengan politik pragmatis yang sering kali bersifat jangka pendek, politik ideologis cenderung memprioritaskan visi jangka panjang. Kandidat yang berpegang pada prinsip ideologis berupaya menerapkan kebijakan yang akan membawa perubahan sosial, politik, atau ekonomi yang berkelanjutan. Mereka cenderung tidak terlibat dalam politik transaksional atau membuat janji berdasarkan keuntungan langsung. Sebaliknya, mereka fokus membangun dasar yang kuat untuk pembangunan yang berkelanjutan, meskipun hal ini berarti mengorbankan popularitas atau dukungan jangka pendek.
Kandidat ideologis juga cenderung mempertahankan konsistensi dalam sikap politik mereka, bahkan di tengah perubahan opini publik. Kampanye mereka kurang berfokus pada kemenangan dengan segala cara, melainkan lebih pada memajukan agenda ideologis mereka, terlepas dari hasil elektoral yang segera.
Politik ideologis, adalah politik ideal dalam percaturan politik, akan tetapi eksistensinya hanya utopia politik , karena untuk mewujudkannya dihadapkan dengan tantangan .Meskipun politik ideologis memiliki kelebihan, ia menghadapi tantangan signifikan dalam konteks Pilkada. Pertama, pemilih Indonesia sangat beragam, dengan tingkat kesadaran politik, pendidikan, dan status ekonomi yang berbeda-beda.
Akibatnya, kandidat yang fokus hanya pada pesan ideologis mungkin kesulitan untuk menarik perhatian segmen masyarakat yang lebih luas, terutama mereka yang lebih peduli pada manfaat langsung daripada prinsip ideologis yang abstrak. Kedua, dominasi politik pragmatis, klientelisme, dan politik uang dapat mengaburkan kampanye ideologis. Kandidat yang mencoba mencalonkan diri dengan platform yang murni ideologis mungkin berada pada posisi yang kurang menguntungkan, tidak mampu bersaing dengan sumber daya finansial atau jaringan kandidat yang lebih pragmatis.
Keseimbangan antara Pragmatisme dan Ideologi
Baca Juga: Golkar Surabaya Mulai Sosialisasi Erji, Armuji Yakin Menang
Meskipun politik pragmatis sering kali mendominasi Pilkada, tidak adil untuk sepenuhnya mengabaikan pentingnya ideologi. Banyak kandidat yang berhasil menemukan cara untuk menyeimbangkan pertimbangan pragmatis dengan komitmen ideologis. Mereka mungkin membentuk aliansi strategis atau terlibat dalam politik transaksional untuk mencapai keberhasilan elektoral, namun tetap berusaha menerapkan kebijakan yang mencerminkan keyakinan ideologis mereka setelah terpilih.
Sebagai contoh, seorang kandidat mungkin terlibat dalam pembentukan koalisi pragmatis selama kampanye, namun setelah menang, mereka fokus memajukan agenda ideologis terkait kesejahteraan sosial atau perlindungan lingkungan. Tindakan menyeimbangkan ini memungkinkan kandidat untuk menavigasi kompleksitas Pilkada sambil tetap setia pada prinsip-prinsip mereka.
Ketegangan antara politik pragmatis dan ideologis dalam Pilkada mencerminkan tren yang lebih luas dalam pemerintahan demokratis. Meskipun politik pragmatis menawarkan solusi segera terhadap tantangan elektoral, ia berisiko mengabaikan debat penting tentang kebijakan dan nilai-nilai jangka panjang. Di sisi lain, politik ideologis memberikan visi masa depan namun mungkin kesulitan mendapatkan daya tarik di lanskap politik yang didominasi oleh pragmatisme.
Dalam skenario ideal, kandidat dapat menyeimbangkan kebutuhan akan strategi pragmatis untuk memenangkan pemilu dengan komitmen untuk menerapkan kebijakan berbasis ideologi yang bermanfaat bagi masyarakat dalam jangka panjang. Tantangan bagi demokrasi Indonesia terletak pada menciptakan sistem elektoral yang mendorong pertimbangan pragmatis dan ideologis, memastikan bahwa Pilkada tidak hanya menjadi alat kesuksesan politik tetapi juga platform untuk pemerintahan yang bermakna dan kemajuan.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan dan Ketua Forum Kajian Hukum,Sosial Politik dan Agama Lamongan
Editor : Redaksi