Ini Dua Alasan Dewan Pers Menolak Revisi UU Penyiaran

Reporter : -
Ini Dua Alasan Dewan Pers Menolak Revisi UU Penyiaran
Diskusi publik bertemakan “Menyoal Revisi Undang-Undang Penyaiaran yang Berpotensi Mengancam Kebebasan Pers” di Hall Dewan Pers Jakarta, Rabu (15/5/2024)

Jakarta, JatimUPdate.id,- Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menggelar diskusi publik terkait dengan revisi Undang-Undang Penyiaran di Hall Dewan Pers pada Rabu (15/5). Diskusi publik bertemakan “Menyoal Revisi Undang-Undang Penyaiaran yang Berpotensi Mengancam Kebebasan Pers” menghadirkan beberapa narasumber diantaranya Yadi Hendriana (Dewan Pers), Dave Laksono (Komisi I DPR RI), Herik Kurniawan (Ketua Umum IJTI), Hendry Ch.Bangun (Ketua Umum PWI), Imam Wahyudi (Dewan Pertimbangan IJTI/Jurnalis Senior), Bayu Wardana (Sekjen AJI) dan Wina Armada (Praktisi/Jurnalis Senior).

Ketua Umum Dewan Pers, Ninik Rahayu, dalam sambutannya menyebut dua alasan yang menjadi pijakan Dewan Pers beserta segenap konstituen yang ada di dalamnya untuk bersikap menolak terhadap revisi UU Penyiaran yang saat ini sedang digodok di Badan Legislasi DPR RI.

Baca Juga: Bekali 62 Peserta Jurnalis Jatim dan Banten, PWI Pusat Gelar Pra UKW 2024 

“Pertama, dari sisi proses penyusunan undang-undang. Dalam konteks proses penyusunan undang-undang atau politik hukumnya, RUU ini tidak memasukkan UU Nomor 40/1999 tentang Pers di dalam konsiderannya.”ujarnya.

Kemudian, Ninik menjelaskan akibat yang akan ditimbulkan dari hal itu yakni pers di tanah air menjadi produk pers yang tidak merdeka, tidak profesional, tidak independen, dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik berkualitas.

Baca Juga: Ribuan Warga Tulungagung Meriahkan Jalan Sehat dan Halal Bihalal Bersama Sarmuji

Padahal, tambahnya, kebutuhan akan informasi yang disampaikan oleh pers bukanlah semata kebutuhan para jurnalis, bukan pula kebutuhan dari korporasi pers. Melainkan menjadi kebutuhan dan hak konstitusional dari warga negara. Di sisi lain, Ninik juga menyebutkan tidak dilibatkannya Dewan Pers dalam proses penyusunan RUU Penyiaran ini. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PUU-XVIII/2020 tersirat dengan jelas bahwa penyusunan sebuah regulasi baru haruslah melibatkan partisipasi publik.

“Kedua, dari sisi substansi RUU Penyiaran ini. Ada beberapa pasal yang memerlukan perhatian serius dari para insan pers di tanah air,”tuturnya.

Baca Juga: Dewan Pers Gelar  UKW di NTB 7 Peserta Dinyatakan Tidak Kompeten

Di antaranya pada Pasal 50 B ayat 2 huruf C terkait dengan larangan produk-produk jurnalisme invetigasi serta pasal 42 ayat 2 terkait dengan penyelesaian sengketa produk jurnalistik yang akan dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

“Produk-produk siaran invetigatif akan dilarang serta penyelesaian sengketa produk pers akan dilakukan secara hukum dan lewat pengadilan yang tentunya akan berujung pada pembredelan dan penyensoran. Karenanya ini harus dikawal, harus ditolak,”tutupnya. (SF)

Editor : Nasirudin