Catatan Mas AAS

Benar Ingin Menjadi Dosen

Editor : -
Benar Ingin Menjadi Dosen
Catatan Mas AAS

Harus saya akui topik perbincangan di komunitas dosen adalah obrolan seputar artikel jurnal, makalah, seminar, prosiding, buat buku dan semacamnya.

Itu saat penulis, berkumpul bersama mereka. Entah join ngobrol bareng saat di forum formal dan informal. Dan perlu diketahui tema-tema obrolan itu mengharuskan seorang dosen harus memiliki kemampuan utama dan pertama yaitu menulis. Dan menyukai dunia riset, dunia penelitian. Jangan dunia gemerlap! Kalau yang ini sih ingin mengkritik diri sendiri!

Artinya behavior seorang dosen, hari-harinya adalah riset, menulis, buat seminar, buat workshop, buat mempublikasikan pikiran-pikiranya. Dari forum itu, pikiran-pikirannya akan di kritik, lalu lambat laun tapi pasti, kepakarannya dalam suatu bidang akan diakui. Ruang-ruang terbatas juga ruang-ruang publik, sangat mengharap, para dosen pada turun gunung beri solusi, masalah-masalah kekinian, dengan kepakarannya!

Dan ini sebuah culture pribadi, yang mesti dijalani seorang dosen. Atas rasa suka atau terpaksa sikap seperti itu kudu dijalani. Berat juga jadi dosen itu! Iyalah, emang enak jadi dosen? Sekali lagi ini juga bahan renungan bagi diri pribadi penulis, jika Anda berkenan karena memiliki kegelisahan yang sama, ya, alhamdulilah.

Ada motivasi intrinsik di dalam diri seorang dosen, ia ingin eksis. Hal itu bisa terjadi, dan hanya bila eksistensinya itu bisa diendus di kanal-kanal jurnal yang bereputasi baik nasional dan internasional lewat karya tulisan ilmiahnya. Tidak punya portofolio di situ mending tidak usah menjadi dosen, pernah suatu ketika hal tersebut dikatakan oleh seorang kolega.

Itu indikator pencapaian seorang dosen di era sekarang. Jadi motivasi intrinsiknya seorang dosen adalah prestasi dan prestise sehingga berusaha sangat keras bagaimanapun caranya agar bisa eksis adalah harus menulis pada laman-laman terbatas di atas. Entah terindeks di Jurnal nasional Sinta baik Sinta 1 hingga 6. Atau juga Scopus, wos, yang bereputasi internasional. Mereka hari-harinya bekerja untuk diproyeksikan ke sana. Ada nama mereka pada jurnal-jurnal di atas, kayak orang dapat panggilan haji saja senangnya, karena besarnya pengakuan yang ia peroleh.

Aku tidak tahu, kenapa bisa begitu. Mereka kerjakan semua itu karena passion atau karena memburu sesuatu. Rasa eksis, atau upeti bisa jadi!

Ngajar, ngabdi, neliti, nulis, lalu publish manuskrip ke jurnal yang relevan adalah ideologi para dosen yang beneran. Sedang dosen yang tidak beneran macam penulis, yang menulis celotehan ini. Masih jauh dari pelabuhan yang dituju. Karena kadang masih lari sana-sini, pontang-panting ke sana dan kemari entah apa yang ingin dicarinya! Perlu merenung sejenak agar segera bertaubat! Kembali menjadi dosen yang beneran. Itu pun kalau mau masih eksis melanjutkan profesi menjadi seorang dosen.

Di atas adalah motivasi intrinsik atau internal seorang dosen. Lalu motivasi eksternal yang bisa diperoleh dosen apa? Bisa jadi adalah insentif dan penghargaan yang riil dari institusi dan kolega! Apabila mereka mampu eksis berkarya secara istiqomah lewat berkarya yaitu menulis tulisan-tulisan ilmiah. Ya, kongkritnya juga duit lagi. Bagaimanapun duit ini meski dikatakan bukan segalanya, kata sebagian orang. Tetapi segala apapun pada hari ini kadang butuh duit.

Dosen juga manusia!

Bagi yang pingin memilih dan memiliki profesi sebagai seorang dosen sebab tergiur statusnya yang mentereng jadi ilmuwan misalnya, atau dapat pengakuan di masyarakat. Mending tidak dilanjutkan saja keinginan Anda itu. Tugas dosen itu berat, Anda tidak akan mungkin kuat, biar saya saja yang menjalaninya. Ini pun karena wis kadung basah nyemplung sekalian. 

Karena saya tidak suka menjadi manusia yang setengah, apalagi sepertiga atau malahan seprapat jadi pupuk bawang pelengkap saja di sebuah institusi dimana saya bekerja. Menjalani sebuah profesi, ya, kudu totalitas.

Meski saja, pada posisi sekarang masih pada level opini. Namun jauh di lubuk hati, akan berjalan berproses menuju ke sana.

Meski saja dunia pendidik di bangku formal bagi saya pribadi masih dunia yang belum lama saya jalani. Apa buktinya? Ya, saya tidak dikenal pada komunitas di atas. Karena belum punya kesadaran melangkah di situ. Dan sekarang dengan pelan-pelan mulai membangun kesadaran itu di dalam diri! Semoga tetap tekun, teken, agar tekan, sesuai yang diharapkan dan diimpikan selama ini!

Saya lebih eksis dikenal oleh para kaum marginal metropolis di Surabaya. Tukang ojek, tukang sego goreng misalnya. Dan dunia malam yang sedikit remang-remang itu di kota pahlawan. Yang mana isinya senang-senang saja kala malam, lalu paginya meringkuk di kamar sesali keadaan! Ironis.

Putar balik untuk memutar realitas yang ada. Butuh kesadaran dan kemauan yang sangat kuat. Tapi alam selalu punya caranya, untuk mengantarkan manusia yang sudah mantab pilihannya dan mau pergi ke mana! Tentu saja si manusia itu sendiri yang harus menyambut panggilan dari semesta itu!

Pertanyaan terakhir dan sebagai penutup tulisan ini. Ada pertanyaan kecil yang ingin saya ajukan kepada pembaca yang hari ini menjadi seorang pendidik di sebuah kampus, kerena rasa penasaran saja. Apakah Anda sudah yakin menjadi seorang dosen sekarang? Apalagi menjadi pendidik bagi setiap tunas-tunas muda dari rahim Bumi Pertiwi ini?
Jangan sampai profesi itu hanya sekadar pekerjaan pelarian saja. Karena diri kita sedang menganggur alias _jobless_, dan mumpung punya ijazah S2 apa S3! Ya, kenapa tidak dimanfaatkan. Itu saja! 


AAS, 12 Januari 2023
Kota Pahlawan