Cui Bono?

Reporter : -
Cui Bono?
DR M Subhan SD

PLATO (428-348 Sebelum Masehi) sudah mengingatkan ribuan tahun silam. Salah satu kelemahan demokrasi adalah terpilihnya pemimpin hanya karena faktor-faktor yang tidak esensial: kepintaran berpidato membangun narasi, kekayaan berlimpah, atau mempunyai pertalian darah keluarga. Kalau hari ini kita menyaksikan gejala-gejala seperti itu berarti demokrasi kita tidak sedang baik-baik saja. Demokrasi kita berada dalam fase berbahaya.

Demokrasi memang bukan jalan sempurna, tetapi ia adalah sistem ketika suara setiap orang punya makna. Demokrasi memberi kesempatan pada semua orang. Ada asas kesetaraan. Patokan dalam demokrasi adalah kompetensi dan meritokrasi. Maka, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) pada 16 Oktober 2023 membolehkan siapa pun yang berusia di bawah 40 tahun dapat ikut serta dalam pemilihan presiden/wakil presiden asalkan pernah/sedang menduduki jabatan kepala daerah, tentu sah-sah saja.

Baca Juga: Jangan Suka Mempersulit

Namun, demokrasi bukan hanya soal tujuan, tetapi juga menyangkut cara. Demokrasi mengajarkan  norma-norma. Tanpa norma, demokrasi akan mati. Tak heran, putusan MK itu mendapat kritikan tajam. Secara intensional, tak sulit membaca arah putusan MK tersebut.  Dalam penyelidikan, ada istilah cui bono, “siapa yang diuntungkan?”.  Frase ini sering diulang-ulang oleh Cicero (106-43 SM) yang mengutip Lucius Cassius Longinus Ravilla (sekitar abad ke-2 SM), konsul Romawi yang dipandang sebagai hakim paling bijaksana kala itu.  

Di persidangan, Cassius punya kebiasaan bertanya, “cui bono fuisset’, siapa yang mendapat keuntungan dari hal itu?” Frase ini digunakan untuk menelusuri jejak atau motif suatu kasus/peristiwa, perbuatan, atau tindak kriminal. Kira-kira siapa yang paling diuntungkan dari suatu peristiwa/perbuatan tersebut, kemungkinan besar dia terlibat atau penerima manfaatnya.

Cui bono putusan MK? Semua orang tahu bahwa putusan itu dimanfaatkan Gibran Rakabuming Raka. Seorang anak muda, usianya 36 tahun. Tetapi sudah dua tahun menjadi Wali Kota Solo. Artinya Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hasil uji materi di MK itu, ibarat karpet merah buat Gibran. Faktanya, dari sekian kepala daerah yang berpeluang, toh hanya Gibran yang memanfaatkan putusan MK yang terbit pada 16 Oktober 2023 tersebut. Seperti berkejaran waktu, dengan gerak cepat Gibran mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto pada 25 Oktober 2023, dalam waktu 10 hari pasca putusan.  

Pro dan kontra menyelimuti negeri. Satu pihak berpendapat semua orang punya hak sama untuk berlaga di panggung Pilpres karena asas demokrasi adalah kesetaraan. Padahal, siapa bilang setara antara anak rakyat jelata dan anak presiden yang memiliki privilese. Pihak lainnya berpandangan bahwa cara tersebut sangat tidak elok dan hanya memperkokoh praktik politik dinasti. Putusan tersebut dinilai berselimut konflik kepentingan (conflict of interest). Bayangkan saja, Ketua MK Anwar Usman adalah pakde (paman) Gibran. Presiden Joko Widodo, presiden berkuasa saat ini, adalah bapak Gibran. Dengan relasi kekuasaan seperti itu, putusan MK sepertinya bukan gema di ruang hampa. Menurut ahli sosiologi-politik Maurice Duverger (1972/2014), hukum adalah salah satu alat yang sangat luar biasa untuk ampuhnya kamuflase kekuasaan. Cui bono?

Politik dinasti

Politik dinasti memang tak haram di alam demokrasi. Tetapi, politik dinasti mencegah orang lain yang tidak memiliki kapital, otoritas, akses, dan jejaring kekuasaan. Di panggung sejarah politik dinasti melahirkan banyak dinasti politik. Di Amerika Serikat tempat demokrasi berakar, dinasti politik bermunculan. Beberapa contoh, di antaranya keluarga Adams (memiliki 2 presiden, 1 wapres, 1 gubernur, 1 senator, 2 anggota DPR, 2 menteri), Harrison (2 presiden, 2 gubernur, 3 senator, 5 anggota DPR), Roosevelt (2 presiden, 1 wapres, 2 gubernur, 4 anggota DPR), Kennedy (1 presiden, 3 senator, 5 anggota DPR, 1 menteri), Bush (2 presiden, 1 wapres, 2 gubernur, 1 senator, 1 anggota DPR), Taft (1 presiden, 1 ketua Mahkamah Agung, 1 gubernur, 3 senator, 2 anggota DPR, 3 menteri).

Di India, ada keluarga Nehru-Gandhi, yang pernah memegang jabatan perdana menteri sejak kakek (Jawaharlal Nehru), anak (Indira Gandhi), dan cucu (Rajiv Gandhi). Di Filipina, ada keluarga Marcos, di mana bapak (Ferdinand Marcos) dan anaknya (Bongbong Marcos) menjadi presiden. Lalu keluarga Aquino yang memegang jabatan presiden sedari ibu (Corazon Aquino) dan anak (Benigno Aquino III). Juga keluarga Duterte, di mana sang bapak (Rodrigo Duterte) menjadi presiden dan putrinya (Sara Duterte-Caprio) menjadi wapres. Di Singapura, Lee Kwan Yew dan putranya Lee Hsien Loong menjadi perdana menteri. Di Kanada, keluarga Trudeau menjadi perdana menteri, sejak bapak (Pierre Trudeau) dan sang anak (Justin Trudeau).

 Di Indonesia pun dinasti politik juga lumrah. Keluarga Soekarno (presiden pertama) lalu anaknya Megawati (presiden ke-5 dan Ketua Umum PDIP), dan cucunya Puan Maharani (Ketua DPR). Para politikus atau pimpinan partai politik yang lain, semisal Surya Paloh (Ketua Umum Partai Nasdem), Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden ke-6 dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat), Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra) juga punya keluarga yang umumnya berkiprah di DPR. Belum lagi  dinasti politik di daerah-daerah sejak era otonomi diberlakukan.

Konflik kepentingan

Presiden Djokowi yang kehadirannya dianggap sebagai produk reformasi yang menggelorakan antinepotisme (anti-KKN), rupanya tergiur pula. Kekuasaan memang menghipnotis. Produk reformasi pun dapat terkontaminasi. Putra sulungnya, ya Gibran, menjadi wali kota yang pernah diduduki bapaknya di masa lalu. Menantunya, Bobby Nasution, menjadi Wali Kota Medan. Putra keduanya, Kaesang Pengarep, langsung dinobatkan menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 25 September 2023, dua hari setelah bergabung. Kini dengan di-endorse-nya Gibran sebagai cawapres, Jokowi tampaknya terus membangun dinasti politik.

Pada umumnya politik dinasti tidak terjadi saat bersamaan ketika sang patron berkuasa. Beberapa contoh, George W Bush berkuasa dua periode (2001–2009), sedangkan bapaknya, George HW Bush, berkuasa pada 1989-1993. Presiden John Adams menjadi presiden ke-2 AS pada 1797-1801. Putranya, John Quincy Adams menjadi presiden ke-6 yang berkuasa pada 1825-1829. Bongbong Marcos meraih kursi presiden pada 2022 setelah meniti jalan panjang sejak ayahnya, Marcos, digulingkan people power pada 1986.

Artinya ada selang waktu yang cukup lama, sehingga tidak bersinggungan langsung dengan kekuasaan orangtuanya. Praktik politik dinasti pun dapat diuji secara sistem merit. Bahwa faktor pengaruh atau efek ekor jas orangtuanya tentu tak dapat dikesampingkan. Tetapi bagaimana pun juga hal itu berbeda dengan politik dinasti yang mekar pada saat salah satu keluarga masih kuat-kuatnya memegang tampuk kekuasaan. Pada situasi ini, sulit menangkis dugaan penyalahgunaan kekuasaan atau setidaknya pembiaran terhadap praktik politik dinasti.

Maka kasus Gibran menjadi berbeda karena Jokowi masih berkuasa di negeri ini, ditambah pula dengan pakde yang mengepalai MK. Mungkin mirip dengan kasus keluarga Duterte. Sara Duterte menjadi calon wapres saat menjadi Wali Kota Davao. Ia terpilih pada 2022 ketika sang ayah, Rodrigo Duterte, masih berkuasa di tampuk kepresidenan (2016-2022).

Mastermind

Tak perlu heran bila banyak orang melakukan otak-atik gathuk dengan segala tautan yang ada. Banyak pihak membaca semua itu siasat tangan besi yang dijalankan secara soft oleh sang mastermind. Jokowi dinilai hendak melanggengkan kekuasaan. Sebab, kerja Jokowi belum rampung, seperti proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), kereta cepat ke Surabaya, dan proyek infrastruktur lainnya. Seperti sepak bola butuh extra time. Dikhawatirkan proyek-proyek itu bakal hancur karena tak diteruskan penggantinya. Maka, di sinilah orang mencermati fenomena munculnya wacana tiga periode, yang ditolak banyak pihak. Lalu, wacana perpanjangan dua tahun, sebagai pengganti masa Pandemi Covid-19, juga tak laku di pasar. Imbauan ojo kesusu mengusung kandidat, ternyata memang kesusu juga.

Desas-desus pun berseliweran. Menjadi rahasia umum bahwa hubungan Jokowi dengan partainya (PDIP) tidak baik-baik saja, sehingga tak yakin dengan calon yang diusung PDIP. Kemungkinan itulah akselerasi Gibran berduet dengan Prabowo. Walaupun Gibran dinilai belum layak dan belum waktunya, tapi ia  yang dapat menggaransi untuk meneruskan warisan bapaknya.

Bagi pendukungnya, langkah Jokowi adalah bentuk perlawanan terhadap hegemoni Ketua Umum PDIP. Selama ini Presiden Jokowi diperlakukan tak pantas oleh partainya sendiri. Kalaulah demikian, itu urusan internal partai. Hadapi secara gentle. Tidak pada tempatnya membalaskan melalui aturan atau konstitusi. Presiden harus tunduk pada aturan bernegara, tidak boleh melampaui negara. Cukuplah Raja Louis XIV di Perancis yang kerap dikaitkan dengan adagium “negara adalah saya” (l’état, c’est moi).

Dalam demokrasi, seorang presiden bekerja sepenuh hati saat ia mengemban amanah. Ketika ia turun, biarkan penggantinya untuk bekerja, tak perlu cawe-cawe lagi. Itulah esensi demokrasi. Bukankah “setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya”. Sebagai pemimpin politik, Nabi Muhammad saja tidak pernah menyiapkan pengganti sampai wafatnya. Karena itu, jangan cuma mengingat-ingat demokrasi dari sisi kebebasannya. Ingat juga bahwa demokrasi itu menekankan pembatasan, agar kekuasaan tidak bertumpuk pada satu tangan yang ujung-ujungnya mengarah despotis.

Dalam demokrasi, ada pembatasan legal. Misalnya aturan maksimal dua periode. Dalam demokrasi juga ada pembatasan etik. Ini tidak tertulis dalam aturan formal, tetapi terpatri di dalam sanubari. Misalnya, penguasa tidak mendorong keluarga untuk mewariskan kekuasaannya, apalagi sampai dapat mengubah aturan legalnya. Jokowi sesungguhnya telah mengubah wajah Indonesia lebih baik. Tingkat kepuasan publik mencapai 80-an persen. Sungguh disayangkan bila kesuksesan melahirkan sikap jumawa. Ya, ini semua soal nurani. (M Subhan SD)

 

Editor : Yoyok Ajar