Pemilihan Presiden Tunamoral

Reporter : -
Pemilihan Presiden Tunamoral

Beberapa hari ini saya teringat Earl Warren (1891-1974). Warren adalah Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat pada periode 1953-1969. Periode kepemimpinan Warren merupakan era perubahan besar-besaran dalam sistem konstitusi AS. Khususnya menyangkut hubungan antar ras, hukum acara pidana, dan pembagian legislatif. Saya mengingat Warren karena kata-katanya yang begitu bertuah, yakni “law floats in a sea of ethics, hukum mengapung di atas samudera etika.”  Apabila air samudera etika tidak mengalir, maka hukum pun mustahil dapat tegak dengan adil.

Kata-kata Warren itu terus terngiang di telinga selepas Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada 7 November 2023 mengeluarkan putusan bahwa sembilan hakim MK telah melakukan pelanggaran kode etik dalam perkara putusan syarat batas usia minimal calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres). Ke-9 hakim MK dinyatakan terbukti tidak menjaga informasi rahasia dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), sehingga melanggar prinsip kepantasan dan kesopanan. Semua hakim MK itu juga dinilai membiarkan konflik kepentingan terjadi.

Semua hakim itu melanggar kode etik gara-gara uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membolehkan warga negara yang belum berumur 40 tahun dapat berlaga di pentas Pilpres, asalkan pernah menduduki jabatan kepala daerah yang dipilih lewat Pemilu. Artinya mengubah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada Pasal 169 huruf q, yang tersurat jelas, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah) berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.

Dengan uji materi di atas, maka UU terbaru berbunyi “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Inilah yang membuat kegaduhan di panggung politik. Semua orang tahu putusan uji materi itu memberi “tiket Pilpres” untuk Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo yang berusia 36 tahun.

Wakil Tuhan dan standar moral

Tak perlu dahi berkerut untuk menelaah sengkarut putusan MK itu. Prosesnya tidak elok. Aroma konflik kepentingan terasa menyengat. Sebab, Ketua MK Anwar Usman adalah paman Gibran, yang tak lain putra Presiden Joko Widodo yang berkuasa saat ini. Buktinya MKMK menyatakan Anwar terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Sekali lagi, pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip: ketakberpihakan, integritas, kecakapan dan kesetaraan, independensi, kepantasan dan kesopanan. Anwar pun diberhentikan dari kursi Ketua MK.

Vonisnya: pelanggaran etik berat! Artinya ini pukulan paling telak bagi seorang hakim yang kerap dijuluki sebagai “wakil Tuhan” di muka bumi. Etik adalah hal paling esensial. Etik menyangkut nilai-nilai, prinsip-prinsip, norma-norma, dan tujuan tentang apa yang baik, benar, dan bermakna dalam hidup (The Ethics Centre, 2016). Jawaban terhadap tindakan yang baik, benar, dan bermakna, itu adalah moralitas, akhlak, watak. Karena itu, tindakan etik adalah penghargaan martabat dan kehormatan manusia sebagai makhluk Tuhan. Maka etik menjadi titik pijakan semua tindakan yang dapat kita pilih.

Dengan demikian, ketika semua hakim MK divonis melanggar etik bahkan sampai level berat, bukankah pilar-pilar MK sudah runtuh? Namun, tampaknya di tingkat elite banyak juga yang tak terusik dengan putusan MKMK tersebut. Menyikapi putusan MKMK dianggap biasa saja. Atau merasa tidak ada yang salah. Tiada rasa malu lagi. Padahal malu adalah pakaian orang beriman. Barangkali ini menyangkut soal standar moral dalam tatanan masyarakat kita. Beda masyarakat memang beda moralitasnya. Di Jepang, misalnya, samurai yang bersalah atau gagal dalam tugas, akan melakukan seppuku, ritual bunuh diri merobek perut. Seppuku adalah tindakan jantan untuk memulihkan martabat. Seppuku adalah cara pertanggunggungjawaban bushido (kode etik kesatria samurai). Hingga zaman modern, tanggung jawab seperti itu masih dijumpai di Jepang.

Kalau di kita justru yang muncul adalah “pembelaan” terhadap putusan hakim MK. Bahwa walaupun sembilan hakim MK dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran etik, tetapi produk hukumnya tetap di anggap sah. Sebab, putusan MK bersifat final dan mengikat. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Etik versus hukum

Memang, etik dan hukum tidak selalu seiring. Hukum adalah legalitas, belum tentu menyangkut moralitas. Hukum mencoba menciptakan standar perilaku yang mendasar dan dapat ditegakkan. Tentang etik dan hukum ada beberapa contoh dapat dikemukakan. Seorang pembaca, Biranchi Narayan Acharya menulis di blog The Times of India, 18 Oktober 2018. Sewaktu ia naik kereta, ia menyaksikan pembicaraan penumpang dan petugas pengecek tiket. Penumpang bertanya, bila merokok apa akibatnya?  “Anda akan didenda 200 rupee,” jawab petugas. Oke tidak apa-apa, kata penumpang, seraya menyalakan rokok dan mengeluarkan uang lembaran 200 rupee. Petugas keberatan dan bilang bahwa denda itu sesungguhnya untuk mencegah orang merokok. Tetapi penumpang bersikukuh bahwa dirinya benar secara hukum dan siap didenda karena merokok. Petugas tiket tak berdaya. Ia pun ngeloyor dari tempat itu.

Contoh lain yang paling ekstrem ditulis Jason Tozer di LSJ online, 5 Mei 2020. Holocaust adalah tindakan penghilangan sistematis terhadap orang Yahudi yang dilakukan Nazi pada era Perang Dunia II. Tindakan itu dikecam karena biadab dan tidak manusiawi. Tetapi holocaust adalah sah karena kebijakan pemerintahan Nazi. Mirip tindakan Israel saat ini yang terus membombardir Gaza. Tindakannya sah karena keputusan legal pemerintah/negara, tetapi jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Dua contoh tersebut semoga dapat menjernihkan pikiran tentang esensi dan posisi etik dan hukum. Kalau saja etik dan hukum selalu dipandang dalam ranah yang tidak sama, bagaimana bila ada motif tertentu sengaja memanfaatkan hukum? Hukumnya dulu dibuat, toh takkan dapat berubah walau prosesnya melanggar etik sekalipun. Bila hukum hanya berdasar aspek legalitas dan hukum positif, rasanya hukum akan kehilangan nilai-nilai, norma-norma, dan tujuan yang baik, benar, dan bermakna. Secara otomatis akan kehilangan moralitas dan martabatnya. Maka kata-kata Warren tentang hukum mengapung di atas samudera etika sejatinya menjadi pengingat kita semua. Apalagi filsuf dan ahli hukum Jeremy Bentham (1748-1832) menegaskan, etika berkaitan dengan norma-norma secara umum, termasuk norma hukum dan norma kesusilaan. Jadi, aneh saja kalau hukum dipisahkan dari etik.

Putusan hukum yang dibuat MK memang sangat dramatik di panggung politik. Jangan-jangan ini maksud Presiden Jokowi saat berpidato pada perayaan ulang tahun Partai Golkar, 6 November 2023, “Saya melihat akhir-akhir ini terlalu banyak dramanya, terlalu banyak drakornya, terlalu banyak sinetronnya.” Tampaknya Jokowi sedang mengingatkan para aktor politik bahwa arena Pilpres adalah pertarungan gagasan bukan perasaan. Dan, semua orang tahu bahwa Jokowi dan keluarganya adalah aktor-aktor politik dengan adegan paling dramatis akhir-akhir ini. Kalau pernyataan itu ditujukan kepada orang lain, ingatlah bahwa empat jari yang lain mengarah ke diri sendiri. Sebagai rakyat jelata, sejujurnya saya lebih melihat Jokowi sedang self-talk, berdialog dengan pikiran bawah sadar yang dapat menjadi sugesti bagi dirinya sendiri.

Lalu, bagaimana kita memandang Pilpres 2024 yang kita semua tahu proses produk hukumnya dianggap melanggar etik? Ketika etik tidak menjadi asas kehidupan berbangsa dan bernegara, sebetulnya bangsa (baca: para pembesar negeri) kehilangan martabat dan kehormatannya. Karena itu, walaupun banyak pembesar negeri mengangkangi etik, kita tak boleh kehilangan kemanusiaan kita yang memiliki nalar yang rasional. Seperti adagium omnes homines sibi sanitatem cupiunt, saepe autem omnia, quae valetudini contraria sunt, faciunt, bahwa semua orang mengidamkan dirinya sehat/waras, akan tetapi sering kali, mereka yang sehat/waras melakukan sebaliknya. Dan, bisa jadi Pilpres 2024 akan dipandang sebagai pesta demokrasi yang tak etis dan tunamoral. (Dr M Subhan SD, co-founder Palmerah Syndicate dan Direktur PolEtik Strategic)

Editor : Yoyok Ajar