Catatan Mas AAS
Menjadi Pendidik adalah Perbuatan Baik Tanpa Syarat
Dahulu diantar senior, kini mengantar yunior ke tangga-tangga panggung kesuksesan meraka. Siapa anak-anak muda yang luar biasa di kota Sidoarjo.
Boleh jadi hanya sekadar peran yang kecil juga remeh, menemani para mahasiswa itu di dalam kelas *guyon maton parikeno* menyoal urusan mata kuliah, juga menyelesaikan studi kasus dengan diskusi secara dialogis. Semoga menjadi pengingat para generasi bangsa itu agar tetap berani melanjutkan hidupnya yang gemilang di masa depan.
Baca Juga: Inspirasi dari Kebaikan Kecil
Hidup ini hakekatnya hanya sekadar _cokro manggilingan_ yang akan terus berputar menuju transformasi hidup yang terus menerus. Mendekati versi terbaik dari peran yang harus dilakukan oleh seorang manusia. Agar visi dan misi hidupnya yang murni sebagai seorang mahkluk yang katanya begitu tinggi derajatnya berhasil, dan menjadi abdun di alam raya mengabdi kepada Sang Junjungan-Nya.
Proses pendidikan pada *Mandala* di kota Sidoarjo dalam waktu yang tidak sebentar. Delapan kali pertemuan dalam waktu dua bulan penuh. Kiranya interaksi, koneksi, selama pembelajaran berlangsung. Menjadi semacam *embrio* bagi anak-anak muda yang masih panjang jalan hidupnya itu. Berani menjemput takdir hidupnya yang gemilang ke kemudian hari. Penulis hanya menjadi pendamping, untuk memastikan bahwa mereka berani _spek up_ dan _show up_ di dalam kelas, syukur bisa diperluas di kehidupan nyata yang mereka jalani: baik sebagai pribadi dan juga sebagai anggota organisasi serta sebagai karyawan di sebuah perusahaan.
Tak dipungkiri, menghebatkan sebuah *generasi* adalah sebuah pilihan hidup, yang acapkali membuat semangat penulis selalu terjaga setiap bangun dari tidur paginya. Masa depan bangsa dan peradaban selalu di tangan anak muda bukan di tangan orang tua, dan orang-orang yang sudah terhenti marwah hidupnya untuk berbuat sesuatu bagi negeri tercinta nya, itu keyakinan penulis.
Siang ini menjelang adzan asar berkumandang. Sebuah testimoni dan sebuah cindera mata diterima penulis berupa: topi kebanggan layaknya topi yang dahulu diberi oleh orang tua untuk modal berjualan mister kentang kriwul di Taman Bungkul Surabaya. Entah dapat ide dari mana dua buah topi kebanggan penulis dan dua buah kaos diterima penulis sore ini seusai kelas dan sesi photo perpisahan dilakukan. Di tempat yang bersejarah, di sebuah kelas yang sederhana, dengan para mahasiswa yang memiliki ide dan gagasan yang tidak sederhana di dalam hidupnya.
Sepenggal legacy sudah diukir, biarlah mereka menyempurnakan sendiri. Para mahasiswa itu bukan anak kecil lagi, ia telah berubah bertransformasi selama dalam pendidikan yang tengah dijalani dalam waktu dua bulan nonstop dalam tiap pekannya: Sabtu dan Minggu.
Baca Juga: Memasak: Sebuah Seni dan Cara Menikmati Momen Liburan
Tugas sudah ditunaikan. Meski sebentar dalam menemani anak bangsa bertekun meraih cita-citanya. Semoga ada percikan yang mampu diteruskan ajarannya oleh para mahasiswa tersebut. Kini penulis harus kembali ke *barak* : belajar lagi, bekerja lagi. Hidup memang seperti itu, tidak akan berhenti merajut asa, selama nafas kehidupan masih ada, dan selama pikiran itu juga ada.
Meminjam kata-kata nan agung dari filsuf Perancis, Rene Descartes: cogito ergo sum, "aku berpikir maka aku ada!"
Usai bertemu banyak anak-anak muda tunas pemimpin bangsa di masa depan. Membuat penulis banyak sekali berpikir tentang sesuatu. Semoga pikiran-pikiran ini menjadi embrio yang berarti dan menghasilkan sesuatu yang *produktif* bagi kehidupan penulis juga orang lain di masa depan.
Baca Juga: Momentum Itu Diciptakan
Seorang *pendidik* adalah ujung tombak generasi suatu bangsa. Seorang pendidik lah yang pertama kali mengukir sebuah sugesti akan dijadikan seperti apa tunas-tunas muda harapan bangsa ini ke depannya! Mungkin begitu saja, sebuah pahatan kecil narasi yang erat dan lekat dengan memori indah ini.
Sekian dan terimakasih. Semoga lelah ini menjadi lilah-Nya, aamiin yra????????????????
Warkop Kemantren Tulangan Sidoarjo
Editor : Nasirudin