Oleh: Tobias Gula Aran, SH.,M.H

Menggagas Penegakan Hukum Pelanggaran Pemilu Yang Ideal (2)

Reporter : -
Menggagas Penegakan Hukum Pelanggaran Pemilu Yang Ideal (2)
Tobias Gula Aran, SH.,M.H (Berpeci)

Penegakan Hukum Pelanggaraan Pemilu

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jika melihat pada standar terakhir (kepatuhan dan penegakan hukum pemilu), adalah penting untuk memastikan pelaksanaan pemilu yang adil.

Baca Juga: Jaga Kondusifitas Pemilu 2024, Adhy Karyono Terima PWI Jatim Award 2024

Berkaitan dengan standar tersebut, dikemukakan bahwa “Kerangka hukum harus menyediakan bagi setiap pemilih, kandidat, dan partai politik kesempatan untuk menyampaikan keberatan kepada pihak KPU yang atau pengadilan yang berwenang ketika pelanggaran atas hak-hak kepemiluan jelas terjadi. Undang-undang harus mempersyaratkan lembaga KPU atau pengadilan memberikan keputusan segera untuk menghindari pihak yang dirugikan hilang hak pemilunya. Undang-undang harus memberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan pada pihak KPU yang lebih tinggi atau pengadilan dengan otoritas mengkaji dan membuat keputusan yurisdiksi terkait kasus tersebut. Keputusan akhir pengadilan harus dikeluarkan dengan segera.”[1]

Memenangi suara pada “tingkat berkompetisi yang fair”. Lebih jauh, para kandidat juga harus merasakan keterlibatan dalam proses dan menghargai hasil pemilu. Dengan demikian, pemilu menjadi begitu dekat sebagai kegiatan peralihan yang terlaksana sebelum dan sesudah pemilu.[2]

Sebuah lembaga yang bertanggung jawab mengatur administrasi penyelenggaraan pemilu harus independen dan mampu mengadakan proses pemilu yang adil dan efektif. Jika tidak, masyarakat tidak akan mempercayai hasil pemilu. Lebih lanjut, penting adanya evaluasi terhadap institusi pemilu, termasuk penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan, yang memantau aspek-aspek tersebut secara memadai dan melaksanakan tindakan efektif guna menghindari permasalahan dan kecurangan. Hal ini untuk memastikan kesetaraan di dalam proses peradilan dan perlakuan yang sama dan perlindungan hukum bagi para kandidat.

Jika jarak hukum dengan praktiknya kian jauh, hukum itu jadi aturan yang sekarat bahkan mati. Aturan yang dilanggar berkali-kali tapi tidak bisa ditegakkan dan pelakunya tidak dijatuhi sanksi, akan menjadi sia-sia pengaturannya. Dalam pelaksanaan Pilkada 2020, Bawaslu Kabupaten Malang membawa beberapa kasus ke sistem peradilan pidana. Ironisnya, meski kasus tersebut pelakunya merupakan hasil operasi tangkap tangan pelakunya dinyatakan “guilty” karena pelanggaran tindak pidana pemilu, ada beberapa tindak pidana pemilu yang hampir-hampir “tidak pernah teruji” di pengadilan, misalnya tindak pidana pemilu yang berkaitan dengan dana kampanye.

Apakah hal ini karena memang tidak ada yang melakukan? Ataukah undang-undangnya tidak mencukupi? Ataukah karena pengawasan dan penegakannya yang kurang? Klarifikasi di lapangan yang dilakukan oleh pengawas pemilu kecamatan membuktikan banyaknya keganjilan dan bukti-bukti awal pelanggaran dalam soal ini. Faktor-faktor, baik hukum maupun non hukum, tidak mustahil menghambat penegakannya.

Secara normatif, jika terbukti, ancamannya cukup berat, yaitu “eliminasi” dari proses pemilu. Dalam konteks pemilu tahun 2024, tentu ini menjadi sulit ditegakkan (paling tidak secara sosiologis ada hambatan). Kalau memang tujuan yang ingin dicapai dari aturan ini tidak mungkin dijalankan dalam praktiknya; ke depan, aturan-aturan yang sulit ditegakkan ini mesti dikaji ulang atau dipertajam.

Meskipun telah ada gebrakan dari Bawaslu atau pengawas pemilu di beberapa daerah yang memproses mereka yang diduga melakukan tindak pidana pemilu ke pengadilan, bukan berarti upaya menjerat pelanggar aturan pemilu senantiasa mulus. Paling tidak ada empat masalah penegakan hukum pemilu yang mesti ditingkatkan pembahasannya. 

Pertama, apakah ada kesamaan persepsi antara pengawas pemilu di satu sisi dengan sentra penegakan hukum pemilu (Gakkumdu) di sisi lain;  Kedua, adakah penggunaan “diskresi” dalam menyelesaikan tindak pidana pemilu; Ketiga, bagaimana kesiapan pengawas pemilu dan penegak hukum dalam menghadapi berbagai tekanan; Keempat, adakah konsistensi dalam penegakan hukum pemilu?

Kesamaan persepsi antara pengawas pemilu di satu sisi dengan penegak hukum di sisi lain merupakan satu kondisi yang penting yang menentukan nasib kasus-kasus yang diteruskan pengawas pemilu ke sistem peradilan pidana. Sikap tegas pengawas pemilu yang membawa temuan-temuan tindak pidana pemilu ke polisi akan menjadi tidak bermakna jika saja polisi tidak sepakat dengan pengawas pemilu, khususnya menyangkut perbuatan mana yang sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana pemilu.

Baca Juga: Presma ITERA 2024: Suara Mahasiswa dalam Pemilu 2024

Terhentinya penanganan suatu kasus kadang malah jadi “blunder” bagi pengawas pemilu karena kemungkinan akan ada “serangan balasan” berupa pengaduan pihak lain ke polisi. Oleh sebab itu, kesamaan persepsi antara pengawas pemilu dengan penegak hukum menjadi sangat penting.

Yang kedua, kerap kali penegakan suatu peraturan dikaitkan dengan dua sisi dilematis antara keinginan menjaga ketenteraman atau kedamaian dengan penegakan hukum. Hal ini menjadi sangat relevan dalam kaitan tindak pidana berkaitan bidang politik seperti pemilu ini, sebab upaya penegakan hukum kepada seseorang mungkin akan berhadapan dengan sikap konfrontatif dari massa pendukung pelaku atau tersangka atau terdakwa. Terkadang faktor tidak terlalu besarnya kuantitas kecurangan juga menjadi alasan untuk tidak menangani suatu kasus sesuai hukum yang ada.

Yang tidak kalah pentingnya adalah konsistensi dalam penegakan aturan pemilu. Sikap tegas yang hanya ditujukan di awal, atau terhadap sebagian pihak saja, atau di daerah tertentu saja, hanya akan membuat masyarakat tidak hormat dan bersikap sinis pada penegakan hukum pemilu. Tentu ini sangat berbahaya sebab kualitas pelaksanaan pemilu bisa sangat berkurang dan terdegredasi. Oleh sebab itu, langkah awal pengawas pemilu dalam membawa kasus-kasus kecurangan kepada penegak hukum menjadi langkah awal yang baik yang harus diikuti langkah serupa secara konsisten.

Memang, Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 telah berjalan dan menghasilkan wakil rakyat, wakil daerah, pemimpin daerah dan pemimpin nasional. Namun jangan lupakan berbagai kelemahan yang secara substansial perlu diperbaiki. Perlu direnungkan bahwa tujuan pengaturan pemilu dalam hal ini mendorong terbentuknya Undang-undang Peradilan Pemilu agar pemilu berjalan lancar dan bebas, akan gagal jika kekosongan hukum belum bisa diatasi, jika ketidakadilan dan diskriminasi masih terus terjadi dan jika jarak antara hukum dan praktik pemilu kian menganga. Jadi, pada konteks inilah evaluasi regulasi pemilu penting dilakukan.

 

[1] Lihat International IDEA, (2002) dan International IDEA, Kerangka Hukum Pemilu Indonesia

Baca Juga: Ungkapan Rasa Syukur Pemilu Berjalan Lancar, Bawaslu Bondowoso Bagi Takjil Dan Buka Puasa Bersama

 Tahun 2004, Jakarta: IDEA, 2004, hal.93-94.

[2] Merloe, Patrick, Pemilihan Umum Demokratis: Hak Asasi, Kepercayaan Masyarakat dan Persaingan

 Yang Adil. Jakarta: Dinas Penerangan Amerika Serikat, 1994, h. 1.

 

Tobias Gula Aran, SH.,M.H Dosen dan Panwaslu Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang

Editor : Wahyu Lazuardi