Oleh : Prof Dr Bustami Rahman MA"

Nangkadak

Reporter : -
Nangkadak
Prof Dr Bustami Rahman MA

Mahasiswa menanyakan soal yang tidak terlalu mudah untuk dijawab. Pertanyaan mahasiswa itu adalah, mengapa di tengah-tengah orang-orang yang sering menjelek-jelekkan Jokowi sebagai 'dungu', 'plangah-plongoh', 'petruk dadi ratu', dan sebagainya, justru sebaliknya sebagian yang lain, termasuk para elit yang sangat terdidik malah tunduk patuh dan bahkan memuji-mujinya? Bisakah gejala ini dijelaskan secara lebih terang secara sosiologis?

Sewaktu pertanyaan itu diajukan di kelas, telah diusahakan dijawab. Mungkin ada baiknya kali ini diuraikan tertulis agar lebih rapi jalan pikiran dan logikanya dengan sedikit teori yang melandasinya.

Baca Juga: Dikunjungi Mahasiswa Asing, SMP Nation Star Academy Surabaya Kenalkan Alat Musik Tradisional

Pada waktu di kelas itu, telah ditekankan ada gejala tentang keanehan sosial atau kejanggalan sosial, terutama beberapa tahun belakangan dalam pemerintahan Jokowi. Semakin Jokowi disebut sebagai dungu, plangah-plongoh, dan lain sebagainya itu, seakan-akan tidak membuat dia kecil hati dan bersedih, apalagi menyerah. Kasus tuduhan berijazah palsu tidak membuatnya gentar. Gelar buruk dari BEM UGM sebagai Alumnus yang paling memalukan dan gelar The King of Lips' Service dari BEM UI tidak pula membuat Jokowi malu di depan publik.

Di tengah-tengah, katakanlah, segala 'keburukan' yang dikenakan kepada Jokowi, ternyata rakyat masih menaruh kepercayaan yang cukup tinggi kepadanya. Gejala ini tidak aneh, karena kabarnya sekitar 60% rakyat masih dalam taraf 'unknowledgable' dalam pengetahuan umum. Namun, lihatlah rakyat yang 40% yang 'knowledgable', sebagian besar pula masih bergayut kepada Jokowi. Tokoh-tokoh sekelas Prabowo, Erlangga, Yusril, Zulkifli Hasan, dan lain-lain yang seperti 'tercucuk hidungnya', ikut kemana Jokowi menariknya.

Mungkin sampai di sini anda akan mengatakan, ah itu kan mudah menilainya. Mereka yang tercucuk hidungnya itu adalah karena kekuasaan semata. Apalagi hampir semuanya butuh perlindungan hukum dan lain sebagainya.

Kekuasaan itu hal yang lain lagi, yang salah satunya berfungsi sebagai alat untuk mendorong keinginan politik yang sewaktu-waktu diperlukan oleh penguasa bagi kepentingannya. Ada faktor yang lebih primer daripada itu.
Ada konsep yang dinamakan kejanggalan sosial atau 'social oddity'. Penjelasan ini diharapkan dapat menambah penggunaan
konsep dari ilmu politik yang telah biasa kita dengar.

Social oddity merupakan kondisi anomali yang jarang ditemukan dalam tubuh sosial secara makro. Anomali sering dijelaskan dalam unsur mikro, semacam penyimpangan sosial yang dilakukan oleh orang-orang tertentu atau kelompok yg menyimpang dari kebiasaan atau norma umum yang dianut oleh mayoritas sosial.

Hal ini berbeda dengan gejala yang terjadi sekarang di dalam politik Indonesia. Jokowi ini tidak sekedar unik. Dia memenuhi persyaratan sebagai individual pendukung terbentuknya kejanggalan sosial tersebut. Beberapa persyaratan itu pertama adalah, 'eccentric' yakni cenderung tidak berada pada posisi di tengah alias seringkali 'nyeleneh'. Sifat ini disebutkan akan sulit berlaku adil dan karena itu sulit untuk menjadi penengah. Yang kedua, disebut sebagai 'misfit' yakni kadangkala bersikap tidak pas bagi kebanyakan orang. Berani mengambil keputusan yang belum pernah dilakukan orang lain, meskipun itu dipandang tidak cocok atau 'unsuitable' bagi orang lain. Yang ketiga disebut sebagai 'oddball' yakni seseorang yang tidak biasa atau 'unusual'. Bola biasanya berbentuk bundar, tetapi ini 'bola' yang janggal karena mungkin berbentuk benjol-benjol tidak beraturan. Tindakannya juga sulit diduga. Yang keempat, dan ini cukup berbahaya, yakni 'quirky' dan 'tricky'. Sifatnya cenderung culas dan suka akal-akalan.

Baca Juga: KSIC Semarang : Pemimpin Ideal Harus Mampu Menjawab Tantangan Masa Depan

Di dalam teori sosiologi ada paradigma yang dikenal sebagai aliran positivisme. Paradigma ini menggunakan analogi biologisme sebagai sistem atau algoritma berpikir.

Di dalam dunia biologi tumbuhan sulit terjadi suatu perubahan fisiologis, kecuali dengan sengaja diintervensi secara khusus. Contohnya, pohon nangka yg dengan sengaja diintervensi dengan hormon tumbuhan atau senyawa organik dari pohon cempedak (kawin silang), akan menghasilkan apa yang dinamakan sebagai 'nangkadak'. Kondisi ini sebenarnya anomali, dan boleh kita sebut sebagai kejanggalan. Akan tetapi, kejanggalan ini hanya berlaku sementara. Di kala nantinya pertumbuhan nangkadak menjadi tanaman yang dikenal umum, maka nangkadak tidak lagi suatu tanaman yang aneh atau janggal. Nangkadak telah menjadi genus yang disukai karena lebih enak daripada nangka dan cempedak.

Di dalam sistem sosial juga bisa terjadi proses yang sama. Jika nilai sosial yang bersifat baru dan janggal atau bertentangan dengan norma diintervensi secara terus menerus dan berkelanjutan, maka yang tadinya dianggap aneh dan janggal akan diterima sebagai nilai yang benar. Yang semula dianggap benar sebaliknya akan menjadi tidak benar.

Jika demikian, patutkah intervensi nilai yang janggal itu diteruskan atau dibiarkan? Apakah bangsa ini akan dibiarkan menjadi 'nangkadak' ?

Baca Juga: Legislator PDIP: Pesta Demokrasi Perlu Peran Aktif Mahasiswa

Salam, BR

 

*Prof Dr Bustami Rahman MA, Pemerhati Sosial Politik, Mantan Rektor Universitas Bangka Belitung, Pernah menjadi Staf Pengajar di Fisip Universitas Jember

Editor : Yuris P Hidayat