Okza Hendrian., M.A (Peneliti Sygma Research and Consulting)
Konsolidasi dan Reorganisasi Kekuasaan ala Jokowi
Mataram, Jatimupdate.id - Dalam kurun waktu satu dekade kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dari 2014 hingga pada akhir masa jabatannya di 2024, Indonesia telah menyaksikan transformasi signifikan dalam struktur kekuasaan politik. Jokowi, seorang tokoh yang awalnya dikenal sebagai figur rakyat biasa yang merangkak dari bawah, telah berhasil menciptakan sebuah kekuatan politik yang tidak hanya bertahan, tetapi juga mendominasi. Di balik pencapaian ini, ada strategi konsolidasi kekuasaan yang cermat dan sistematis, yang mengundang perhatian dari para analis politik, baik dalam negeri maupun internasional.
Strategi Konsolidasi Kekuasaan: Membangun Koalisi dan Mengendalikan Kekuatan
Baca Juga: Jokowi Janji Bangun Gedung Grha Pers Pancasila
Jokowi memulai pemerintahannya dengan strategi dasar yang mengakar kuat pada prinsip koalisi luas. Dengan mengadopsi pendekatan yang mirip dengan model koalisi presidensial (presidential coalition) ala Lijphart, Jokowi merangkul partai-partai politik besar seperti PDIP, PAN, Golkar, PKB, dan NasDem. Walaupun hubungan Jokowi dan PDI-P sekarang merenggang, namun kualisi besar yang tergabung dalam KIM Plus masih bersanding dengan presiden ke-7 Indonesia tersebut. Langkah ini bukan hanya sekadar untuk memperoleh dukungan legislasi, tetapi juga untuk meminimalkan potensi oposisi yang bisa mengancam stabilitas pemerintahan.
Koalisi yang dibangun Jokowi tidak hanya menjadi fondasi kekuasaan politik, tetapi juga menjadi sarana untuk mengatur ulang kekuatan politik di Indonesia. Pengamat politik William Liddle pernah menyatakan bahwa "koalisi yang terlalu besar berpotensi menciptakan kekuasaan yang sulit dilawan." Pandangan ini tampaknya diadopsi dengan baik oleh Jokowi, yang berhasil membuat koalisi besarnya hampir tidak bisa dihadapi oleh oposisi yang kian lemah.
Pengisian Posisi Strategis: Membentuk Lingkaran Kekuasaan
Dalam teori politik, pengisian posisi strategis dengan orang-orang terpercaya adalah langkah klasik untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Jokowi menerapkan strategi ini dengan menempatkan figur-figur loyal dan profesional di posisi-posisi kunci. Ini sejalan dengan konsep "patronage politics," di mana pemimpin memastikan keberlanjutan kekuasaannya melalui penunjukan individu-individu yang memiliki kesetiaan pribadi atau politik.
Salah satu contoh konkret adalah penunjukan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Maritim dan Investasi. Luhut, yang dikenal sebagai orang kepercayaan Jokowi, memegang peran kunci dalam proyek infrastruktur besar, salah satu program unggulan Jokowi. Hal ini menunjukkan bagaimana Jokowi menggunakan penunjukan strategis untuk mengendalikan agenda nasional.
Kontrol atas Media dan Narasi Publik
Kontrol terhadap media dan narasi publik merupakan elemen penting lainnya dalam strategi konsolidasi kekuasaan Jokowi. Penggunaan media sosial oleh Jokowi dan timnya untuk membentuk opini publik sangat efektif dalam meraih dukungan, terutama di kalangan pemilih muda. Analisis dari McLuhan tentang "the medium is the message" relevan di sini, di mana Jokowi memanfaatkan platform digital sebagai alat untuk mengkonsolidasikan kekuasaan melalui narasi yang dikendalikan.
Tidak hanya itu, kepiawaian dalam mengelola media mainstream juga terlihat dari bagaimana isu-isu kontroversial sering kali diredam atau diubah menjadi narasi yang lebih menguntungkan bagi pemerintah. Sebagai contoh, proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang sempat dipertanyakan banyak pihak, berhasil dibingkai ulang sebagai simbol visi masa depan Indonesia yang progresif.
Hubungan dengan Militer dan Penegak Hukum: Pilar Stabilitas Kekuasaan
Jokowi juga menyadari pentingnya hubungan dengan institusi militer dan penegak hukum sebagai pilar stabilitas kekuasaan. Teori klasik dari Samuel Huntington tentang "the soldier and the state" menggarisbawahi pentingnya kontrol sipil atas militer untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Jokowi, dengan mengangkat tokoh militer ke posisi-posisi strategis seperti Moeldoko sebagai Kepala Staf Presiden dan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan, memastikan bahwa militer tetap berada di bawah kendalinya tanpa kehilangan independensinya.
Pembentukan Lembaga-Lembaga Baru: Memperluas Pengaruh melalui Struktur yang Terkontrol
Jokowi juga melakukan pembentukan lembaga-lembaga baru yang berfungsi sebagai alat pengendalian tambahan. Pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) adalah salah satu contoh di mana Jokowi memperkuat pengaruhnya dalam isu-isu ideologis yang sensitif. BPIP, yang bertugas untuk mengawasi implementasi Pancasila dalam kehidupan bernegara, memberikan Jokowi kendali langsung atas wacana ideologi yang bisa menjadi alat mobilisasi politik.
Dalam konteks ini, kita dapat melihat bagaimana teori Foucault tentang "governmentality" berperan. Jokowi tidak hanya memerintah melalui hukum dan peraturan, tetapi juga melalui kontrol atas wacana dan norma yang membentuk perilaku masyarakat. BPIP dan lembaga-lembaga serupa menjadi instrumen penting bagi Jokowi untuk memastikan bahwa narasi yang mendukung pemerintahannya terus mendominasi ruang publik.
Baca Juga: Di Komunitas Tanya Hukum, LaNyalla: Kekuasaan di Tangan Rakyat, Bukan Partai Politik
Reorganisasi Partai Politik: Membangun Kesetiaan Melalui Pengaruh Ekonomi
Reorganisasi kekuasaan Jokowi juga terlihat dalam hubungan antara eksekutif dan partai-partai politik. Sebagai presiden, Jokowi telah berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan memastikan bahwa partai-partai koalisi tetap setia melalui mekanisme distribusi sumber daya ekonomi. Ini termasuk penempatan anggota partai di posisi strategis BUMN, serta proyek-proyek infrastruktur yang menguntungkan daerah-daerah yang dikuasai partai koalisi.
Fenomena ini sesuai dengan teori "resource dependence" dari Pfeffer dan Salancik, yang menyatakan bahwa organisasi akan mencari ketergantungan sumber daya sebagai cara untuk mengendalikan lingkungan mereka. Jokowi menggunakan distribusi sumber daya ekonomi sebagai cara untuk memastikan bahwa partai-partai koalisi tetap bergantung padanya, sehingga reorganisasi kekuasaan yang dilakukan tidak hanya menguntungkan pemerintahannya, tetapi juga menjaga stabilitas politik yang diperlukan untuk melanjutkan agenda-agenda besarnya.
Penguatan Sentralisasi Kekuasaan di Daerah: Konsolidasi dan Reorganisasi di Tingkat Lokal
Jokowi juga fokus pada konsolidasi kekuasaan di tingkat daerah. Dia mendorong program-program yang populer di kalangan masyarakat seperti Dana Desa dan bantuan sosial untuk memperkuat dukungan di basis-basis pemilihnya. Dalam pandangan Grindle (2007), pendekatan ini dikenal sebagai "local state building", di mana pemimpin nasional berusaha memperkuat dukungan dengan memfasilitasi pembangunan dan kesejahteraan di tingkat lokal. Dalam konteks ini, Jokowi juga memperkuat pengaruhnya melalui dukungan kepada kepala daerah yang memiliki keselarasan visi.
Selain itu, Jokowi juga melakukan reorganisasi kekuasaan di tingkat lokal, di mana sentralisasi kekuasaan diperkuat melalui program-program nasional yang terkoordinasi dari pusat. Melalui kebijakan Dana Desa dan program lainnya, pemerintah pusat tidak hanya memberikan bantuan keuangan, tetapi juga meningkatkan pengawasan atas implementasi program di daerah. Langkah ini memperkuat pengaruh pemerintah pusat atas pemerintah daerah, dan sekaligus memastikan bahwa kepala daerah yang setia pada pemerintah pusat mendapatkan manfaat lebih besar.
Konsep ini bisa dilihat dari perspektif teori "decentralized despotism" yang dikemukakan oleh Mahmood Mamdani, di mana negara mengkonsolidasikan kekuasaannya melalui kontrol terpusat meskipun ada desentralisasi formal. Jokowi berhasil menciptakan mekanisme di mana kekuasaan tetap terpusat, meskipun tampaknya ada otonomi di tingkat daerah. Reorganisasi ini memungkinkan Jokowi untuk memantau dan mengendalikan perkembangan politik lokal yang bisa mempengaruhi stabilitas nasional.
Baca Juga: Jokowi Ingin Membangun Indonesia Dari Pinggiran, Perkuat Kapasitas Aparatur Desa
Kontroversi dan Tantangan: Konsolidasi dan Reorganisasi yang Mengancam Demokrasi?
Namun, konsolidasi dan reorganisasi kekuasaan yang dilakukan Jokowi tidak lepas dari kritik. Banyak yang berpendapat bahwa langkah-langkah ini berpotensi mengarah pada konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar di tangan eksekutif, mengancam prinsip checks and balances yang esensial dalam demokrasi. Kritikus juga mencatat bahwa hal ini bisa menciptakan situasi di mana kekuasaan menjadi terlalu terpusat, mengurangi kemampuan lembaga-lembaga lain dan partai-partai politik untuk memberikan pengawasan yang efektif.
Dalam pandangan mereka, konsolidasi dan reorganisasi kekuasaan yang begitu sistematis bisa menyebabkan erosi demokrasi, di mana pemerintah yang kuat menjadi kurang responsif terhadap kebutuhan rakyat dan lebih fokus pada pengamanan kekuasaan itu sendiri. Teori demokrasi prosedural dari Schumpeter menjadi relevan di sini, di mana demokrasi berisiko menjadi sekadar formalitas prosedural tanpa substansi yang nyata, jika kekuasaan terlalu terpusat.
Bagaimana Warisan Kekuasaan Jokowi ke depan?
Apa Jokowi merupakan cerminan dari pemahaman mendalam tentang dinamika politik dan kontrol kekuasaan. Langkah-langkah ini memungkinkan Jokowi untuk memantapkan kekuasaannya di tengah-tengah tantangan politik yang kompleks, sekaligus membentuk lanskap politik Indonesia yang lebih terstruktur dan terkontrol.
Namun, hal ini juga membawa pertanyaan besar tentang masa depan demokrasi Indonesia. Apakah ini akan menjadi model yang diikuti oleh pemimpin-pemimpin berikutnya? Ataukah ini akan menjadi titik awal dari pergeseran menuju sistem politik yang lebih terpusat dan kurang demokratis? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan waktu, namun yang pasti, warisan reorganisasi kekuasaan Jokowi akan terus menjadi topik perdebatan dalam wacana politik Indonesia untuk tahun-tahun mendatang.
Pada akhirnya, rekam jejak Jokowi dalam satu dekade terakhir telah mengukir sebuah bab penting dalam sejarah politik Indonesia, memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana kekuasaan bisa dikonsolidasikan, dan juga bagaimana kekuatan yang terpusat perlu terus diawasi untuk menjaga keseimbangan dalam demokrasi.
Editor : Redaksi