Catatan Mas AAS

Merayakan Rasa Kemanusiaan

Reporter : -
Merayakan Rasa Kemanusiaan
Mbah Gareng

Warung Kopi kaki lima langganan sudah ramai. Para pelanggan sudah berdatangan duduk di kursi panjang, kursi klasik kebesarannya masing-masing!

Premane Rungkut Surabaya, juga sudah hadir lungguh dampar kencono tak lupa kaca mata hitam selalu dikenakan menutupi kedua peningalnya. Namanya Mbah Gareng.

Baca Juga: Eri Cahyadi Hingga Bayu Airlangga Masuk Bursa Cawali Kota Surabaya Versi ARCI

"Ora peteng ta Mbah Gareng! Esuk-esuk kocomotoan," tanyaku memulai pembicaraan.

"Ora mas Agus!" Dengan kacamata ini aku selalu melihat dunia dalam satu warna tampilan saja, dunia ini indah mas Agus. Glodak, "Sejak kapan Mbah Gareng menjadi seorang Filosof?" "Sejak bertemu mas Agus!"

Mbah Gareng begitu aku memanggilnya. Ia benar-benar tidak saja suka kesenian berupa bunyi-bunyian khas daerah kota pahlawan. Sepertinya juga fasih memposisikan dirinya sebagai seorang mahkluk yang berbudaya ala kaum pinggiran yang tak perlu membuka teori akan banyak istilah di dalam literatur untuk jelaskan perihal konsepnya tentang budaya. Mbah Gareng sadar kapan dirinya menjadi mahkluk: individu, sosial, bahkan spiritual.

Tapi cara hidupnya yang sarat kelangenan nyaman dengan diri dan hidupnya serta aktivitas kesehariannya. Mana bisa hal itu dipahami oleh anak muda jaman modern sekarang. Mana sempat anak-anak itu sekarang masuk ke dalam dirinya yang terdalam lalu berbincang asyik dengan dirinya sendiri lalu menemukan kumpulan artefak yang begitu berharga di dalam benak dan jiwanya sendiri.

Bisa jadi karena perjalanan waktu serta umur dan pengalaman hidup yang panjang bisa menjadi pemantik dari cara pandang Mbah Gareng. Punya value hidup yang apabila saya memperhatikan serta menyimak pemikirannya: begitu sederhana, mendalam, penuh pemaknaan atas semua aktivitas yang sedang dilakukannya. Meski tetap tidak lupa dengan menggunakan pakaian kebesaran sehari-hari nya: jaket lawas, topi hitam, dan tak lupa kacamata hitam menghiasi tubuhnya sambil menyeruput kopi dan membaur dengan para koleganya, para pencinta warkop di Rungkut Surabaya! Istimewa.

Di saat penulisnya yang memperhatikan secara saksama sedari awal kehadiran sang maestro di warkop yaitu Mbah Gareng. Penulis masih kepikiran perihal: UAD, plagiasi, publikasi, dan mungkin bayar SPP kalau tidak dapat ijin maju ujian. "Emplok en kon!" Tak lupa tentunya sambil memperhatikan Mbah Gareng yang begitu menjiwai saat menghisap sebatang rokoknya lalu tak lupa tangan kanannya mengambil segelas kopi hitam kesukaannya. "Uenak mas Agus kopine," piye kabare jenengan."

"Apik-apik Mbah Gareng," jawabku spontan. Tak ada waktu dalam pikiran ini untuk berpikiran hal-hal berat kalau sudah berkumpul guyon maton parikeno dengan Mbah Gareng!

Hidup bagi Mbah Gareng adalah sebuah perayaan agung begitu yang dipahami penulis saat melihatnya dalam wujud: sikap, gerak, pikiran, dan cara hidupnya. Saat di warkop benar-benar dinikmatinya, setelahnya ia akan segera bekerja buka dasar jualan batu akik nya di lapak yang lokasinya di sebelah warkop.

Baca Juga: Tidak Ada Mimpi yang Terlalu Besar Untuk di Kejar!

Mencintai pekerjaan adalah sebuah Kredo yang dijalani, dialami, dan diteladankan oleh Mbah Gareng, yang boleh jadi tidak disadarinya, orang lain dalam hal ini adalah penulis yang merasakannya. Ia tak sempat berpikiran apalagi muncul pendapat bahwa produknya sudah tidak sesuai dengan keadaan jaman dan permintaan pasar, karena masanya sudah lewat. Semua itu tak berlaku baginya, satu dua bahkan tiga batu akik lokal, kerap pergi dari lapaknya dalam setiap hari karena dibeli diminati pembeli fanatiknya.

"Mas Agus, kerso batu akik ta?" "Ora Mbah, Ning ngomah wis uakeh watu," hehehe!

Memanglah benar, hanya saat kita menjadi manusia seutuhnya. Kita semua bisa merayakan hidup dan kehidupan yang sudah Tuhan berikan kepada kita semua.

Sayang, kadang kita lupa, terkungkung dan melekat begitu rupa dengan keadaan sementara yang sedang dialami di dunia nan fana ini: entah karena sebagai mahasiswa S3 belum ujian Disertasi, entah belum berkeluarga, entah belum punya rumah, entah belum punya mobil, atau malah entah belum punya jabatan di saat yang lainnya sudah menjabat hingga dua kali, tiga kali, berganti-ganti kursi dan tugasnya.

Dan saat berkumpul dengan Mbah Gareng. Semua pernak-pernik kehidupan dunia nan semu itu menjadi bahan tertawaan kami bersama! "Sing ono iku dudu, mas Agus," begitu sabda filosof Socrates dari Rungkut Surabaya berpendapat. Mbah Gareng selalu amazing kojahe, hehehe!

Baca Juga: Guyon Maton Parikeno Wayah Sore

Begitu penting, kadang diri kita untuk sejenak mundur menarik diri dari hiruk pikuk kesemrawutan pikiran yang dialami. Lalu memandang hidup apa adanya tanpa berpretensi apapun, dan yang penting kudu cari kolega yang se frekwensi untuk teman berbincang, agar sambung, tanpanya bisa-bisa mencelat atau ruang sadar kita bisa di bawah 50 prosen, dampaknya ber-bahaya, bisa masuk rumah sakit jiwa kata kawan yang menjadi pejabat di UB kemarin!

Penulis pada pagi ini turut berdoa: semoga para pejabat kampus dimanapun saja berada, dan utamanya para pejabat di negeri ini, kesadarannya selalu di atas 50 prosen. Batas minimal 50,00 lah, biar bisa bisa merayakan hidup yang sebenarnya, dan tidak perlu dilarikan ke rumah sakit, hehehe.

 

13 Juni 2023
Warkop Kaki Lima Rungkut Surabaya

Editor : Yuris P Hidayat