Catatan Mas AAS

Gething Bakalan Nyanding

Reporter : -
Gething Bakalan Nyanding
Tugu Bambu runcing

GETHING bakalan nyanding, adalah sebuah premis Jawa yang artinya: jangan terlalu membenci takutnya malahan jatuh hati nantinya, dan duduk di sebelahnya orang yang dibenci karena saking cintanya, upps!

"Yang sedang-sedang saja, kata penyanyi dangdut Prety Vera, atau Vety Vera ya, takutnya saya keselip jempol salah tulis, bisa viral nantinya, gak enak juga!"

Baca Juga: Challenge Dari Kolega

Sedang asyik duduk di depan tugu bambu runcing Surabaya. Ngapain? Ya, sekadar duduk diam mengamati lima pilar bambu runcing tersebut, itu saja!

Sambil berpikir keras, pagi ini mau menulis tentang persoalan apa? Seorang penulis pekerjaannya ya menulis. Sudah beberapa hari tidak menulis sesuatu terasa ada yang salah dengan diri ini!

Lalu, di dalam pikiran pun berseliweran beberapa obyek yang ingin ditulis: perihal sejarah Kyai Subkhi dari Parakan yang menyepuh bambu runcing menjadi senjata utama para pemuda saat itu saat mengusir penjajah Belanda. Atau soal keseleo lidah sang wapres muda saat mengucap kan asam sulfat dan yang benar adalah asam folat untuk ibu hamil. Atau merasa jumawa nya sang tim sukses capres atas ketidakhadiran sang wapres muda dalam acara debat!

Dan kemudian di beranda FB, banyak para ahli bermunculan menyoal tentang perbedaan serta manfaat asam folat dan asam sulfat. Serasa menjadi yang paling benar dan baik dalam penguasaan bidang tersebut. Ya, itulah tabiat keluarga di rumah besar ini, Indonesia. Boleh sedikit meminjam premisnya para kaum syirik tanda tak mampu: "senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang!"

Dan ironisnya, yang menggunakan momen apes _keselip lidah_ sang wapres muda ini, ya tentu saja timses capres lainnya. "Makanan empuk ini, siap digoreng sreng-sreng dengan senang dan riang gembira! Dan dibuatlah kalimat copywriting untuk alat jualan ke konsumen, para pemilih yang akan mencoblos pilihannya di bilik suara nanti pada bulan Februari tahun depan. "Coba saja yang keselip lidah bukan calon wapres, yang bakalan tidak seheboh ini, dampaknya!"

Menarik saja, melihat dinamika ruang sosial kita hari-hari ini. Semua sedang menjadi sosok pahlawan, entah pahlawan siang, malam, atau pahlawan beneran! Rada susah untuk menilai kalau sedang momen cari suara seperti sekarang ini.

Tema perihal capres dan wapres dalam momen pilpres kali ini memanglah memuat novelty kebaruan paling original yang patut dibuat tulisan narasinya. Dibanding tema bambu runcing, dan tewasnya Jenderal Mallaby di jembatan merah Surabaya saat di masa penjajahan saat itu barang kali. Sehingga meski obyek yang dilihat penulis adalah bambu runcing pada pagi ini, di jalan Panglima Sudirman Surabaya, namun tetap saja perihal pemimpin muda yang diuntungkan karena punya nasab yang jelas menjadi bahan tulisan yang tak pernah usang untuk ditulis akhir-akhir ini.

Baca Juga: Melarung Rindu Kepada Mandala di Gunung Arjuna Batu Malang!

Dan berimajinasi: "Andai aku jadi seorang Gibran, andai aku anak nya Presiden!" Imajinasi liar semacam itulah yang mewarnai tema obrolan informal di setiap warung kopi, saat penulis andok mampir ngopi.

Dan penulis hanya mampu diam saja, dan sesekali menimpali obrolan dengan sebuah feedback sederhana: "Jangan terlalu membenci nanti biasanya malahan jadi lho, dan Anda akan semakin sakit bahkan bisa stroke melihat realitas yang ada di tahun depan!"

Hari-hari ini boleh jadi dari mulai Profesor hingga tukang becak, bahkan para pengunjung warkop langganan. Dibuat meradang atas fenomen kekinian yang tengah dialami oleh keluarga besar di rumah besar sekarang. Semua hipotesis tentang sebuah kebenaran akan sesuatu di nol kan semua. Yang dulunya pendukung fanatik Pak dhe Jokowi, lalu tetiba menjadi pembenci fanatik sekarang. Dan sialnya ajak-ajak orang lainnya lagi.

Kalau sudah begini: "Siapa yang pintar, dan membuat semua ini bisa terjadi, siapa? Apakah Wong Ndeso yang dulunya kita sepelekan sedemikian rupa, sila dijawab sendiri-sendiri!"

Dan tentu saja, fenomena ini akan menjadi sebuah ilmu baru, bila dibahas dan dikupas dalam ruang akademik, yang bebas persepsi. Semua debat dan perbedaan entah selera, pilihan politik, pilihan partai, bahkan pilihan capres, tak diambil pusing. Karena semua sedang mencari benang merah, makna dan pelajaran apa yang akan kita peroleh dalam fenomena terkini yang cukup fenomenal ini.

Baca Juga: Bagaimana Menjadi Aktivis di Jaman Now?

Karena hari ini, semua orang dan setiap kelompok tengah memegang hipotesis jalan kebenarannya masing-masing. Tinggal ditunggu saja siapa nanti pemenang nya, dan bisakah bekerja untuk memajukan keluarga besar di rumah besar INDONESIA.

Sambil menatap tugu bambu runcing lekat-lekat. Doa terindah untuk Bumi Nusantara agar tetap jaya dan lestari di masa depan, penulis selalu lantunkan ke langit tertinggi.

Maturnuwun Gusti.


AAS, 7 Desember 2023
Tugu bambu runcing Surabaya

Editor : Nasirudin