Oleh : agus saiful huda

Secangkir Kopi Pahit dari Seorang Petambak Kecil

Reporter : -
Secangkir Kopi Pahit dari Seorang Petambak Kecil

Ada undangan terbuka untuk saya melalui pesan Whatsapp secara pribadi dari salah satu Pengurus SCI Banyuwangi untuk hadir di acara seminar dan Ulang Tahun SCI ke 17 serta Rembug Udang nasional di Bali. Sejujurnya pingin sekali saya datang, karena kebetulan tanggal yg sama, ada acara yg sudah lama terjadwal, jadi belum bisa hadir. Dan tentunya sebagai orang yg telah dibesarkan lebih dr separuh umur berkecimpung di budidaya udang, terpanggil untuk terus terkoneksi dan berkontribusi di dunia tambak udang, melalui Secarik pemikiran sumbangsih dalam rembuk udang nasional di Bali. Semoga ada manfaatnya.

Berbicara potensi produksi udang ditinjau dari Panjang Garis Pantai di Indonesia yakni no 2 setelah Kanada, dengan iklim tropis. Idealnya, Indonesia adalah pengeksport udang no 2 dunia kalau tidak mau untuk menjadi no 1. Tetapi benar apa yang dikatakan DR Atjo bahwa potensi Sumber Daya Alam (SDA), belum menjadi jaminan sebagai produsen udang terbesar. Why?
Sebuah pertanyaan tersisa yang menjadi PR penggiat budidaya udang.

Baca Juga: Jurusan Perikanan UMM Kembangkan Teknologi Udang Vaname Air Tawar Skala Rumah Tangga

Bahwa kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia yg melimpah, ada laut, gunung, dataran rendah, sungai dan iklim tropis, seharusnya menjanjikan swasembada baik beras, bawang putih, jagung, kedelai dan garam namun apa yang terjadi di negeri yg berlimpah anugerah ini?

Bandingkan dengan Belanda yang tidak punya gunung, Swiss yang tidak punya pantai dan lautan, Jepang yang miskin sumberdaya mineral, Singapura yang tidak punya sawah, Arab Saudi yang tidak punya hutan, Indonesia punya semuanya!. Idealnya lebih makmur dari negara2 tersebut. Hal ini kalau kita melihat dalam perspektif modal sumber daya alam (SDA) sebagai potensi. Modal SDA ini apakah tidak dimanfaatkan, atau tidak termanfaatkan, atau tidak bisa dimanfaatkan atau tidak mampu memanfaatkan atau tdk layak dimanfaatkan atau boleh jadi belum dimanfaatkan?. Semua idiom2 itu mempunyai alasannya sendiri2.

Hal ini persis dan sebangun dengan potensi udang dengan melihat Modal Panjang Garis Pantai. Harusnya menjadi jawara pengekspor udang. Tetapi kenapa no 4? Inilah PR besar kita.

Setidaknya ada 4 pergeseran signifikan dalam budidaya udang berkelanjutan,

1. Teknologi Breeding dan genetic improvement
2. Skala potensial kegagalan karena infeksi penyakit baik viral (WSSV, IMNV), Bakterial (Vibriosis, AHPND/EMS) dan jamur/microsporidia (EHP, WFD) dll
3. Dekonstruksi lingkungan dan rangkaian operasionalnya yg tidak ramah lingkungan (penggunaan desinfeksi, tidak adanya IPAL, penggunaan obat2an, dll)
4. Perubahan kesadaran konsumen global ( peduli konservasi ekologi, produk yg aman dan sehat) memaksa konsekwensi tersendiri dalam membangun bisnis budidaya udang masa depan.

Tentunya saya tidak akan mengurai solusi atau jalan keluar dari permasalahan2 tersebut karena dalam REMBUG UDANG NASIONAL ini banyak Pakar dan team perumus yg capable dari segi keilmuan dan praktek di lapangan.

Namun yg perlu diperhatikan adalah perubahan konsumen global yang sadar akan produk yang ramah lingkungan, aman dan sehat. Maka hal pertama yg mendesak dilakukan adalah membuka mindset baru bagi petambak dan atau pengusaha tambak.
Bahwa tantangan ke depan bagi petambak udang adalah tidak hanya dipengaruhi oleh supply & demand yg berbasis biaya rendah dan daya saing tetapi juga dipengaruhi oleh konvensi2 / perjanjian2 regional dan international. Konvensi2 tersebut menyangkut berbagai issue seperti kelestarian lingkungan, keamanan pangan ( food safety) serta hambatan2 perdagangan lainnya.

Karena itu lembaga2 otoritatif yg berperan sebagai regulator, fasilitator dan eksekutor perlu mengambil langkah2 riil. Agar sikap dan perilaku egosentris dari ekosistem bisnis udang mulai dari Peneliti/PT, Hatchery, Petambak, Pabrikan Pakan, Penyedia Saprrotam, supplier, coldstorage/eksportir tidak selalu berposisi diametral, saling menyalahkan, maka yang senantiasa dilakukan adalah dialog dan koordinasi.

Dialog dan koordinasi dalam bingkai paradigma baru akan menjadi salah satu pintu menuju terciptanya “cluster baru” yakni petambak petambak yang mampu mengelola sumberdaya (alam, manusia, peluang, pasar) yang ada dengan baik dan bijaksana.

Kolaborasi dari suplly chain dalam ekosistem bisnis udang adalah kunci untuk bangkit dari keterpurukan. Walaupun belum “jungkir balik” jelas diperlukan desain ulang untuk instrospeksi dalam mengelola tambak udang. Kegiatan seperti REMBUK UDANG NASIONAL pasti lahir dari kesadaran komunal insan2 udang (seperti SCI ) atas keprihatinan produksi akhir2 ini.

Sejarah Panjang tambak udang di era 80 an dimana udang menjadi Primadona. Yang memicu munculnya petambak2 udang, bak jamur di musim hujan, yang eksploitatif dan ekspansif. Tanpa dibarengi kapasitas dan kompetensi yg memadai, karena semata peluang yg prospektif.
HIT & RUN menjadi mental dan perilaku petambak saat itu. Tata ruang dan daya dukung seolah bukan pilihan. Tidak mustahil apa yg kita rasakan hari2 ini adalah sebuah jawaban alam.
Apakah kejadian di pantai Utara (PANTURA) jawa di era 80 - 90 an ini terulang untuk pengembangan budidaya udang untuk masa datang?
Tentunya tidak!

Ada 3 pilar dalam membangun budidaya udang yg Produktif dan Lestari.

1. Biologically feasible
2. Technically feasible
3. Economically viable

Biologically feasible

Bahwa dalam memelihara udang diperlukan kriteria2 biologis syarat dan rukun2 supaya udang bisa Hidup, Tumbuh dan Sehat. Walau nanti dalam perkembangan ilmu dan teknologi , baik teknologi Breeding dan perbaikan genetik induk udang serta teknologi sistem budidaya yang terkontrol dan terukur, dimungkinkan nantinya budidaya udang serba mudah dimasa depan dibanding hari ini.

Genetik improvement ini menjadi penting mengingat Panjang Garis Pantai di Indonesia dari Sabang sampai Merauke mempunyai karakteristik yg spesifik untuk masing2 wilayah karena perbedaan topografi, hydrologi, elevasi, vegetasi, iklim dan akses.

Sepakat dengan DR Atjo belajar dari success story Ekuador, bahwa masalah untuk mengatasi disparitas wilayah di Indonesia krn perbedaan topografi, hidrologi, elevasi, vegetasi dan iklim perlu disiapkan strain induk udang dengan perbaikan genetic sesuai dengan kondisi karakteristik spesifik wilayah tersebut. Pendekatan dengan strain genetic specific dimungkinkan hasil yg optimal yaitu udang yang sehat (tahan penyakit), cepet besar dan survival rate yg tinggi.
Sebuah pekerjaan yang tidak mudah!!

Technically feasible

Baca Juga: SMK Perikanan Puger bersama BKNU dan Universitas Brawijaya Kembangkan Budidaya Udang Berkelanjutan

Untuk merekayasa, memodifikasi syarat2 biologi udang untuk bisa hidup, tumbuh dan sehat adalah dengan pendekatan sistem. Kelayakan Teknik dan sistem ini yg akan di validasi dengan tingkat keekonomian bisnis udang.
Tentunya Tata letak, lay out, konstruksi, desain, fasilitas2 budidaya serta SDM adalah kunci dalam kesuksesan budidaya udang yg Produktif, Lestari dan Efisien.

Economically viable.

Kegiatan budidaya udang adalah kegiatan bisnis, yang ujung2nya adalah profit.
Bagaimana menghitung tingkat keekonomian bisnis budidaya udang?
Ini adalah kunci bagamana kita mengendalikan perilaku dalam memperkosa alam, menuju ramah lingkungan. Salah satu pendekatan yg saya pakai adalah berapa biaya per m2 lahan produktif. Dari sini kita bisa menghitung berapa produktifitas yg layak ( Produktif, Lestari dan Efisien ).

2 Pondasi untuk membangun Budidaya Udang yang Produktif dan Lestari.

1. Kualitas air baku
2. Sumberdaya Manusia ( SDM)

Kualitas Air Baku

Dinamika lingkungan begitu komplek dan rumit dengan variasi2 yg tak terbatas, kadang pengaruh yg sangat kecil dan sering tidak terdeteksi dapat mempunyai pengaruh yang sangat besar. Hal ini menjelaskan mengapa keberhasilan sering terjadi dari pengalaman dan intuisi daripada analisis dan kecerdasan buku.
Hal ini juga yg menjelasklan mengapa seringkali faktor2 kunci berbeda dari salah satu area tambak yang satu dengan area tambak yang lain. Pola yang demikian hanya dapat dikenali oleh petambak berpengalaman dalam pengamatan secara tepat.

SOP yang agile & adaftif menjadi mantra untuk kesuksesan budidaya udang sekarang ini. Metode agile dan adaftif adalah cara efektif memahami dinamika lingkungan yang dinamis. Sebab itu SOP selalu diklarifikasi secara kontinyu dan terus menerus (agile dan adaftif).
Flexibilitas metode agile terlihat pada rangkaian proses yang dapat disesuaikan saat produksi tengah berjalan.

Sumber Daya Manusia ( SDM)

Salah satu ciri budidaya udang yg berhasil biasanya didukung oleh organisasi yg kuat. Untuk itu kapabilitas organisasi (SDM, Struktur, dan system) harus menjadi prioritas utama sebagai pengendali operasi budidaya udang. Sebab organisasi yg kapabel akan selalu mendorong dan memberikan peluang untuk berkembang sehingga mempunyai kompetensi unik dalam menjawab persoalan2 budidaya udang secara komprehensif dalam tatanan dan aturan ekologis.

Baca Juga: Dosen UB kembangkan Teknologi Aerator Venturi untuk Tambak Udang Millenial

Kapabilitas dan kompetensi tidaklah cukup. Mengelola kerjasama strategis dan taktikal dengan seluruh karyawan dan perusahaan akan lebih banyak menyempurnakan cost dan kualitas. Manajemen sarang laba-laba yg lebih horisontal, kekeluargaan bak kawan sejati didasari “human spirit” adalah pintu masuk menuju sustainable growth. Sebab industri udang kedepan tidak didasari pada persaingan teknologi melainkan lebih pada persaingan SDM. Karyawan sudah semakin smart, knowledgable dan terkoneksi dengan dunia luar yang bersifat borderless dan limitless, mendorong positioning perusahaan harus mampu menciptakan atmosfer yang benar2 sangat personal bagi karyawannya, kalau tidak mau kehilangan orang2 terbaiknya.

Harus diakui banyak faktor yang berpengaruh dalam produksi budidaya udang. Namun dengan sedikit mengubah sudut pandang, inshaAllah akan memperluas kemungkinan untuk melihat sesuatu yg tidak terlihat sebelumnya. Bahwa Budidaya Udang adalah berbasis Natural Resources maka cara kerja dan cara pandang yg mengapresiasi kearifan2 dalam mengelola lingkungan harus dijadikan pijakkan dalam budidaya udang.

Transformasi sikap mental dari “egosentris” menjadi “ecosentris”, dari “bagaimana nanti” menjadi “nanti bagaimana”. Adalah point yg harusnya sudah menjadi “default mental” petambak Indonesia.

Dan untuk sukses dalam transformasi ini memerlukan waktu dan tekad yg kuat, terbuka dan bekerjasama, serta sikap mental bermain patuh dan bertanggung jawab terhadap aturan yang berlaku yang dirancang untuk kemajuan bersama.

Tidak satupun yg lebih penting setelah memahami persoalan dan cara mengubahnya adalah komitmen dan kebijakan politik ekonomi yg kondusif bagi tumbuh kembangnya budidaya udang. Hal ini penting karena udang adalah komoditi ekspor tentunya kebijakan fiskal yang responsif menjadi sebuah harapan.

Saya teringat Robert Koch seorang konsultan strategi, “ Selalu akan ada harapan bagi innovator betapapun lemahnya posisi kita”.

SELAMAT ULANG TAHUN SHRIMP CLUB INDONESIA (SCI) KE 17.
9 mei 2005 - 9 mei 2022

TETAP SEMANGAT MEMBANGUN NEGERI MELALUI SEKTOR BUDIDAYA UDANG

DIRGAHAYU SCI KE 17

Editor : Redaksi