Tirakat Membawa Berkat, Juga Keramat

Reporter : -
Tirakat Membawa Berkat, Juga Keramat
Tirakat Membawa Berkat, Juga Keramat

Catatan Mas AAS

 

Baca Juga: Ibu Bumi

SAYA sih ngaku juga nyadar bukan anak millenial, tapi generasi produk jaman kolonial. Jadi membawa konsep juga ajaran masa silam perlu setidaknya saya sulih bahasa kan dengan definisi juga konsep yang bisa diterima oleh anak jaman now. Tidak mau, ya, jangan paksakan diri untuk bisa diterima pemikiran Anda!

Anak jaman sekarang, di _kandani_ di nasehati, bisa balik _ngandani_ juga ngasih wawasan ke kita. Salah? Ya, tidaklah. Orang dan generasi kolonial saja yang kurang bijaksana mau mengikuti selera anak-anak gaul semacam Bonge si Bocah Bojong Gede ini misalnya. Anak baru gede ini sudah jadi ikon yang ikonik produk dari CFW (Citayam Fashion Week). Sebenarnya konsep *tirakat, berkat, juga keramat* sadar ataupun tidak si Bonge sudah menjalaninya!

Tapi tulisan ini bukan akan membahas _tetek bengek_ perihal CFW. Apa yang mau saya sampaikan adalah berkenaan dengan tiga konsep besar yang ada pada judul tulisan di atas!

Baca Juga: Sukses di Bali AKG Entertainment Siap Gelar Pokemon Run di Surabaya

Tirakat, arti yang bisa kita ambil dari KBBI adalah menahan hawa nafsu. Anak kolonial semacam saya ini, dilatih dengan _poso ngebleng_ , _turu bengi ning tritisan omah_ , dan _melek sewengi muput_! Dan suatu saat konsep tirakat seperti itu aku sampaikan ke anak-anak remaja, yang biasa aku kumpuli kalau aku sedang ngojek. "Hai mas bro, piye nek awakmu poso ngebleng ning kamar sedino sewengi ning kamar, men cita-citamu mlebu SMA favorit dan Kampus terbaik berhasil?" "Ora kuat paklik. Lha wong poso biasa ning wulan romadhon ae akeh lupute _mokel_ wayah awan je!"
Aku pun mendengar jawaban anak-anak SMP juga SMA di kota pahlawan itu jadi _ngguyu_ ngakak. Apa mereka salah, yang notabene generasi calon pemimpin bangsa dimasa depan itu. Sama sekali tidak, salahnya dia saja lahir dan hidup di jaman sekarang, saat semuanya serba mudah serba instan, diperoleh. Tapi anak-anak itu tidak sadar mungkin juga orang tua mereka, bahwa sesuatu yang mudah ia peroleh hari ini, adalah sebenarnya sebuah proses perjuangan yang pajang juga berdarah-darah (hp, game). Anak jaman now jadi manusia konsumtif yang sedemikian akut tanpa menyadarinya. Tapi semuanya bisa di rubah, dan mister AAS lahir ke dunia ini, salah satunya membawa misi menemani anak-anak millenial itu agar bisa tirakat, agar bisa dapat berkat, juga agar bisa keramat di dalam hidupnya, upps! Sumpah, kalau yang ini, benar-benar becandaan dari saya saja, sebagai bumbu sebuah tulisan agar dibaca tidak tegang oleh Anda, sebagai pembaca yang baik dan budiman.

Berkat, adalah karunia yang Tuhan berikan, saya melirik KBBI yang sama untuk dapat arti juga makna itu. Anak jaman kolonial seperti saya ini, sudah dibiasakan mencintai juga mengerti perihal konsep _ibu bumi dan bopo angkoso_. Singkat kata, saya diajari dan dididik untuk menyatu dengan alami, menghormati juga merawatnya. Setiap tempat ada penunggunya dalam artian positif ada penjaganya. Apabila kita sopan merekapun sopan juga ke kita dan seterusnya. Ajaran itu bisa jadi sudah mendarah daging. Nah, kalau manusia jaman kolonial bisa jadi kita lihat banyak hoki nya, ya. Boleh jadi itu bisa terjadi , karena di setiap anak jaman kolonial ada keharmonisan di dalam dirinya dan simbiosis mutualisme sesama mahkluk ciptaan Tuhan yang lainnya, sama-sama ingin *manembah* dan berbakti kepada Tuhan, junjungan yang sama. Suatu ketika konsep berkat itu aku kenal dan terangkan kepada anak millenial. Karena aku masih ngotot menggunakan diksi lawas, ya, kembali lagi anak-anak itu kurang _ngeh_ apa maksudku, mereka kurang paham. Mereka memahami berkat kalau: uang jajan banyak, kuota internet penuh, orang tua tidak tanya juga marah apabila telat pulang ke rumah. Itulah arti *berkat* bagi anak jaman now. Cara dapat berkatnya: merayu hingga merajuk di depan orang tuanya. Karena mereka tahu, orang tuanya tak mungkin tidak memberikan yang ia mau, ilmu itu mereka dapatkan dengan sekali klik di laman media sosial komunitasnya! Atau malahan di _coahing_ sama temannya yang sudah berhasil bohongi, eh, maksudnya merayu _bopo biyunge_ untuk diberi uang yang banyak, tuk puaskan hasratnya membeli kesenangan di jaman now! Apa itu, Anda sudah tahu bukan?

Baca Juga: Direktur cDep: Waterfront City Sangat Tepat Dibangun di Surabaya

Anak jaman kolonial, setelah berhasil *tirakat* lalu merasakan hidupnya penuh *berkat*, otomatis dalam dirinya semakin yakin untuk bisa berbagi, akan semua berkat itu kepada orang lain yang lebih banyak agar hidupnya bisa *keramat* ada _mupangat_ nya. Anak jaman now, "Gak, usah belagu lo, bantuin orang segala. Hidup lho sendiri saja masih kembang juga kempis," itu slogan anak jaman millenial! Bisa jadi yang saya ceritakan di atas tidak bisa disimpulkan mewakili kehidupan anak jaman akhir sekarang. Tapi, setidaknya, karena aku sering kumpul dengan mereka, melalui profesi ku sebagai tukang ojek online. Aku setidaknya menjumpai bahwa itu terjadi, soal masif, sistemik, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut!

Lalu benang merah dari adanya gap antara anak jaman kolonial dan anak jaman millenial, diisi dengan apa solusinya. Sebentar, kalau begitu saya cari dahulu grand teorinya, middle range teorinya, hingga applied teorinya. Untuk menjembatani agar konsep *tirakat bawa berkat juga keramat* dipahami sama arti juga maknanya, serta cara memperolehnya, bagi anak millenial! _Just kidding kakak_. Tapi saya berharap Anda ngerti ya pesan yang ingin disampaikan melalui tulisan pada pagi ini...

Editor : Redaksi