Catatan Mas AAS

Mrengeti Nyadran: Besik, Nyekar, Kembul Bujono, Marak Sowan Leluhur

Reporter : -
Mrengeti Nyadran: Besik, Nyekar, Kembul Bujono, Marak Sowan Leluhur
Mas AAS

Masyarakat Jawa mengenal tradisi nyadran atau Sadranan yang biasanya dilakukan saat di bulan Sya'ban (Kalender Hijriyah) atau Ruwah (Kalender Jawa). Untuk mengucapkan syukur yang dilakukan secara kolektif.

Sadranan biasanya diadakan beberapa Minggu sebelum datangnya bulan Ramadhan.

Baca Juga: Mahasiswa Otentik

Ritual tahunan tersebut yang diwujudkan dengan ziarah dan membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa, dan tabur bunga (nyekar) ke makam leluhur!

Pagi ini, tepat pukul 08:00 WIB pagi. Bagaimana ideologi kolaborasi yang menjadi pemantik sebuah  soft skill kemampuan masyarakat modern sekarang. Telah dirupakan dalam spirit gotong royong dalam ritual kegiatan nyadran pada Minggu pagi ini. Tampak semua warga pada sengguh berangkat pagi-pagi benar ke makam untuk membersihkan dan nyekar. Lalu pada pulang ke rumah bebersih diri, kemudian kembali menuju Masjid samping makam untuk melanjutkan keakraban sebagai manusia Jawa. Kenduren, sambil kembul bujono bersama: makan bebarengan arupi: Sego tumpeng, iwak Ingkung, apem, urap-urap, dan segala  topping yang menghiasi tumpeng dalam sebuah nampan yang dibawa oleh setiap warga dalam kegiatan pasamuan warga sakbrayat!


Setiap warga perantauan semua memiliki sedya hajatan. Agar dalam setiap momen nyadranan setahun sekali. Mereka bisa pulang. Sebagai sebuah manifestasi memahami akan ujaran dan ajaran adiluhung para leluhurnya: "Sangkan Paraning Dumadi". Pada momen nyadran seperti pada pagi ini, setiap warga dimana umurnya akan terus merangkak menuju senja, akhirnya sadar akan kembali kemana pada akhirnya.


Nah, tuntunan hidup sebagai seorang manusia Jawa yang mesti tansah memiliki sikap hidup atau patrap: "Mikul Duwur Mendhem Jero" benar-benar termanifestasi kan begitu ritmis dan magis dalam kegiatan Sadranan ini.

Para Simbah, Eyang, dan para Sesepuh, serta Pinisepuh Desa. Yang dahulu begitu sayang dan terus menemani setiap aktivitas para warga di Dusun kecil ini. Mereka semua telah kondur menjadi leluhur, menjadi ajimat, setiap anak putu, menjadi suri tauladan bagaimana menjalani hidup dan kehidupan di alam marcopodo yang fana dan sebentar ini. Hidup yang memiliki visi sudah jauh-jauh hari selalu diajarkan dengan begitu terampil oleh para leluhur Jawa kepada anak cucunya. Keinginan dan hasrat yang luhur untuk "Memayu Hayuning Bawono". Memperindah dunia yang sudah indah menjadi semakin indah, dimanapun saja diri ini hidup mencari nafkah, menjadi spirit hidup yang tak lekang oleh waktu dijalani oleh masyarakat Jawa.

Upacara adat Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta sraddha yang artinya keyakinan. Suatu rangkaian upacara adat yang bertujuan mendoakan roh leluhur yang telah sumar meninggal dunia.

Bagi manusia Jawa. Makna nyadran sendiri: adalah untuk mendoakan leluhur, mengingatkan diri kepada datangnya kematian, menjaga kerukunan dan hangatnya persaudaraan.

Baca Juga: Tidak Ada Mimpi yang Terlalu Besar Untuk di Kejar!

Seperti yang sudah rutin diselenggarakan selama ini. Dalam kegiatan Sadranan ini, ada aneka rupa kegiatan yang dilaksanakan oleh warga di Dusun. Antara lain: Besik bebersih makam, kirab berupa arak-arakan warga pada menuju makam, ujub, doa, kembul bujono akan bersama, tasyakuran bersama! Bagi manusia Jawa hadir dan bisa mengikuti kegiatan nyadran, adalah sesuatu, dan sebuah amplifikasi bagian dari sebuah perjalanan spiritual. Ingat-ingat betul, darimana kita berasal dan akan sowan kembali ke alam keabadian, Sangkan Paraning dumadi! 

Bagi setiap perantau. Bisa menghadiri acara Sadranan adalah sebuah kemewahan, kemegahan, dan sebuah perjalanan yang suci. Setidaknya ia mensucikan dirinya untuk memaknai ulang akan jati dirinya sendiri sebagai seorang jalmo! Yang akan terus memperbaiki diri dalam proses perjalanan menuju kepada Nya, di saatnya nanti. Bagi manusia Jawa, kesakralan acara Sadranan boleh dibilang berada di level tertinggi di antara acara prengetan hari besar yang lainnya. Di acara ini, semua warga berkumpul di sebuah tempat: orang tua, pemuda, remaja, anak-anak, laki dan perempuan tumplek blek kenduri bersama, Kembul bujono bersama, tasyakuran bersama. Sembari berbincang tentang sebuah memori perjalanan fisik juga batin, selagi bisa bertemu!

Tidak jarang apabila ada rejeki berlebih. Dengan sukarela setiap warga saweran nanggap wayang. Wayang saat diadakan pada acara kegiatan Sadranan. Benar-benar berposisi sebagai sebuah cermin budaya: tidak sekadar tontonan, namun menjadi sebuah tuntunan, yang dituturkan oleh Sang Dalang, untuk mengedukasi setiap pejalan yang menempuh sebuah perjalanan hidup! Di alam marcopodo. Sebaiknya, senyamannya, seindahnya bagaimana berjalan, merunut kepada perjalanan leluhur yang telah terang dan menang di dalam hidupnya.

Tentu saja tanpa bermaksud meninggalkan nilai budaya dan adat. Dari Desa yang menyelenggarakan Nyadran. Ziarah leluhur tetap menjadi prioritas, sedangkan kelimpahan rezeki merupakan nilai tambah dari tradisi Sadranan ini. Begitulah pesan yang bisa penulis pahat huruf-huruf nya pada kegiatan adat nan adiluhung pada pagi ini!

Baca Juga: Ibu Bumi

Demikian saja, sepenggal pena sederhana yang bisa dibuat penulis. Sesaat meng-capture kegiatan Sadranan di kampung halaman tercinta, Kwanggan, Tulung, Klaten, Jawa Tengah!

 

AAS, 03 Maret 2024

Makam Kwanggan, Tulung, Klaten, Jawa Tengah

Editor : Nasirudin